“Hai semua. Maaf nih, gue jadi membuang waktu kalian, atau membuat kalian semua pada nggak bisa pulang cepet” ucap Rio sambil menatap semua personil band. “Seperti yang lo semua tau, kemarin gue sempat bikin lagu. Tapi gue nggak tau ini bagus apa nggak. Kalo ada yang nggak sesuai di hati, ngomong aja supaya gue tau kekurangannya.” Rio pun mulai memainkan gitarnya, sambil menyanyikan lagu my kind of perfect ciptaannya. Sebenarnya, Rio sudah meminta Ify untuk memainkan pianonya. Tapi Ify nggak mau, dengan alasan nggak enak sama yang lain. Akhirnya, Rio pun yang memainkan semuanya. Setelah Rio selesai, semuanya terdiam.
“So?”
“Giling yoo..itu kereen abiss...” ujar Cakka, Ray pun mengangguk setuju
“Wah, kayaknya kita harus promosi lagu pertama kita nih..” usul Alvin
“Seminggu lagi acara ulang tahun sekolah, gimana kalo kita nyanyi di sana?” tanya Ify
“Setujuuuuu....” ujar semuanya kompakkan
“Hmm, yo. Lo dapat inspirasi dari mana nih buat lagu ini?” tanya Iel tiba2 membuat semua personil memandang Iel dan Rio bergantian
“Kalo melodinya, gue juga nggak tau. Ngalir gitu aja. Kalo liriknya, gue dibantuin sama Ify.” Jawab Rio jujur membuat semua memandang Ify dan Rio penuh tanya
‘Ini bukan Rio banget. Rio nggak pernah pengen dibantu. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi?’ batin alvin bertanya-tanya
“Ih, kok pada ngeliatin gue sih. Udah ah, latihan aja yook. Kan waktu kita Cuma seminggu.” Ujar Ify mengalihkan pembicaraan. Namun, semuanya pun setuju dan mulai memegang alat musik masing-masing.
PLETAK..
Jitakan halus dari Cakka mendarat mulus di kepala Rio
“Yang bener dong yo” untuk kesekian kalinya Cakka mengatakan hal itu> Rio hanya bisa nyengir tanpa membalas jitakan Cakka. Ini memang kesalahannya. Ia selalu melakukan kesalahan ketika memainkan alat musiknya. Ia terbayang akan tatapan Iel pada Ify ketika menyanyikan lagu yang ia ciptakan. Tatapan itu terlihat begitu tulus dan tak tau bagaimana rasa takutnya muncul. Takut untuk kehilangan Ify. Karena ia tau Iel memiliki kesempatan yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri.
“Maaf kepikiran Ify nih” ucap Rio cukup membuat semburat merah muncul di wajah Ify
“Beuh..lo ngomong gitu, ntar ada yang marah loh” ucap Ray sambil melirik Iel. Iel yang merasa dipandang sama Ray hanya bisa memutar bola matanya
“Udah, udah mendingan latihannya cukup sampai di sini. Ntar baru kita lanjutin lagi. Daripada nggak ada hasil apa2” ucap Alvin mencoba menengahi.
Kepikiran Ify? Yah, memang itu yang Rio pikirkan sejak tadi. Memang nama itu yang mengganggu konsentrasinya. Rio pun mulai beres2, dengan memasukan alat musik ke dalam sarungnya.
“Fy, pulang bareng yuk” ajak Iel dan ditanggapi suara batuk2 dari personil lain
“Maaf ka, udah janji pulang sama ka Rio duluan” jawab Ify sambil memasang wajah menyesal
“Oh ya udah kalo gitu. Nggak apa2 kok” ucap Iel dan mengacak rambut Ify pelan. Ada sedikit kekecewaan mendengar jawaban Ify. Tapi mau gimana lagi, itu pilihan Ify.
“Guys, duluan ya.” Pamit Rio pada yang lain. Langkah Rio diikuti Ify dari belakang. Mereka berdua berjalan ke parkiran dalam diam. Selama perjalanan mengantarkan Ify pun, mereka hanya bisa diam. Hanya diteman alunan musik dari radio
“Cocok.” Gumam Rio namun dapat didengar Ify
“Hah?”
“Lo sama Iel cocok. ”
“Apaan sih”
“Sungguh. Lo berdua kayak pasangan, dan gue rasa Iel suka sama lo.”
“Udah deh ka”
“Emang kenapa sih? Bukannya Iel cakep dan menawan?” tanya Rio membuat Ify mengangguk
“Ka Iel memang cakep, menawan, pintar, baik, perhatian, nggak sombong, jago nyanyi, dan disukai banyak cewek. Banyak banget yang pengen banget jadi pacarnya. Tapi bukan itu masalahnya. Semuanya tergantung ini” penuturan Ify terhenti, ia menunjuk dadanya “Ini masalah hati. Gue nggak punya perasaan apa2 sama dia. Bahkan gue udah nganggep dia kayak kakak gue sendiri”
Rio kembali diam. Ingin sekali ia berteriak sekuat tenaga, karena ia punya kesempatan. Namun ketika ia ingat semua masa lalunya, ia tau itu nggak bakal terjadi
“Tapi apa salahnya sih membuka hati lo buat Iel?”
“Hati gue udah jadi milik orang lain”
“Kenapa lo nggak lupain orang itu, dan memberikan Iel kesempatan?”
“Lo kenapa sih ka? Lo kok pengen banget gue jadian sama ka Iel?” keluh Ify. Rio pun terdiam. Nggak, Rio sama sekali nggak ingin Ify bersama Iel.
”Fy, kalo lo diperhadapkan sama kenyataan yang begitu pahit, apa yang bakal lo pilih. Kenyataan itukah, atau keinginan indah, tapi bakal nggak sesuai dengan kenyataan itu sendiri?” tanya Rio tiba-tiba. Ify sempat mengerutkan keningnya tanda tak mengerti ke arah mana Rio membawa pmbicaraan ini.
“Gue bakal milih kenyataan”
“kenapa? Bukankah keinginan lo itu bakal membuat hidup lo indah?”
“Gue nggak boleh egois ka. Lagian apa dengan menuruti keinginan kita, semu kenyataan itu akan terhapus? Nggak akan sama sekali. Malah itu akan menjadi bayang-bayang kita. Kita akan merasa begitu bersalah kalau kita pura2 tidak mengetahui kenyataan itu. ”
“Walaupun kenyataan itu sendiri pahit?”
“Ya” jawab Ify singkat. Jawaban yang cukup menohok untuk Rio.
****
Gadis itu berdiri di salah satu halte dekat sekolahnya. Setiap mungkin ia menatap jam yang melingkar manis di tangannya. Entah untuk keberapa kalinya ia mendesah seolah dengan begitu, ia bisa membunuh waktu.
“Via?”
Gadis itu mengangkat sedikit wajahnya. Ia mengerutkan kening mencoba mengenali siapa yang berada di depannya menggunakan helm fullface. Menyadari kebingungan di wajah gadis itu pun, pengemudi itupun membuka helm untuk menunjukkan wajahnya.
“Kok masih di sini?” tanya sang pengemudi itu lagi
“Lagi nunggu bus ka”
“Emang nggak dijemput?” Via hanya menggeleng lemah.
“Gimana kalo gue anterin?”
“Nggak usah ka Alvin. Aku nggak mau ngerepotin”
“Nggak ngerepotin kok. Lagian gue juga nggak bisa ninggalin cewek di halte bus sore begini.”
Via tertawa pelan mendengar penuturan Alvin
“Jadi kalau ketemu tante2 di halte bus, sore begini juga dianter juga kak?”
“Hah? Nggaklah!”
“Kan cewek, ka alvin”
“Tapi ceweknya nggak sama cantik kayak lo” ucap Alvin singkat membuat pipi Via memerah.
“Udah ah.” Via pun langsung naik ke atas motor seniornya itu. Dan nggak tau kenapa, ia merasa begitu senang karena ia nggak bisa dijemput hari ini.
****
Iel memarkirkan motornya, kemudian masuk ke salah satu cafe favoritnya. Setelah memesan, ia memilih tempat dekat jendela, di mana ia bisa melihat jelas kegelapan di luar. Perlahan, ia pun mulai menyesap hot tea sambil memandang keluar. Mencoba menyusun puzzle yang ada di otaknya. Mencoba mengartikan lagu yang Rio ciptakan. Untuk siapakah? Ify? Mencoba mengartikan pandangan Rio pada Ify, dan mencoba menepis semua kenyataan yang ia tau bahwa Ify memiliki perasaan yang sama dengan Rio.
“Permisi! Gue boleh duduk di sini? Soalnya semua tempat udah penuh” tanya seorang gadis yang nampak seumuran dengan Iel atau mungkin lebih muda. Iel kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe. Memangcage saat itu begitu penuh. Akhirnya Iel pun mengangguk. Terlihat gurat kebahagiaan bercampur kelegaan di wajah gadis itu. Iel kembali menatap keluar, seolah kegelapan malam bisa menenangkan pikirannya
“Kenapa liat keluar terus sih? Nggak bosen? Dari tadi kan Cuma gitu2 aja?” tanya gadis yang duduk di hadapannya, sambil mengikuti pandangan Iel. iel kemudian tersenyum tipis
“Gue Cuma ngerasa kalo kegelapan malam itu bisa menghapus dan menutupi semua keresahan. Atau mungkin karena hati gue serasa kehilangan terang”
“Kenapa? Bukannya terang itu lebih indah?”
“Terkadang terang itu hanya penipuan. Hanya sebagai tampilan luar, namun sebenarnya akan selalu ada bagian gelap. Gelap akan selalu membayangi sebuah terang kan?”
“Bukankah kita bisa mengubahnya atau setidaknya dapat mencoba agar tidak selalu kegelapan yang muncuk namun sebuah terang?”
“Tapi berapapun usaha kita, gelap itu akan selalu ada, dan kita harus menerimanya”
“Gue nggak bilang kalau gelap itu nggak ada, tapi setidaknya gelap itu akan berkurang sedikit dan itu akan lebih baik, karena kita bisa menunjukkan bahwa kita nggak akan pernah kalah dengan kegelapan itu”
“Lo takut gelap?” tanya Iel sambil mengangkat sebelah alisnya
“Hehehe, kok tau?”
“Soalnya lo dari tadi begitu mempertahankan sisi terang”
“Gue emang nggak suka gelap. Karena gelap itu buat hidup gue terpuruk, gelap itu ngebuat orang tua gue meninggal”
“Maaf.”
“Nggak apa2. Lupain aja, Cuma cerita lama kok. Oh ya kita belum kenalan. Nama gue Zahra” ucapnya bersemangat sambil mengulurkan tangan
“Gabriel. Panggil aja iel” balasl Iel. Zahra pun mengangguk-angguk mengerti sampai kuncir rambutnya bergerak
“Semangat banget?”
“Hidup tuh Cuma sebentar, karena itu nggak boleh diisi dengan kesedihan, dan juga kegelapan.”
Entah bagaimana, hanya melihat gadis di hadapannya ini, dapat membuat sudut bibirnya tertarik ke samping, sehingga terlihat seulas senyuman tulus. Seolah Iel begitu masuk dengan kehidupan dan keceriaan dari Zahra
“Oke. Eh, gue mau pulang. Lo mau gue antar?”
“Nggak usah. Gue ntar dijemput kok”
“Ya sudah kalau gitu. Gue duluan ya.” Ucap Iel dan berjalan meninggalkan meja nomor 7 itu
“Zahra” panggil Iel ketika ia telah berdiri di depan pintu cage itu. Zahra pun membalikan badannya agar bisa melihat Iel.
“Gue senang bisa ketemu lo. Gue harap ini bukan pertemuan terakhir kita. ” Iel pun membuka pintu cafe dan berjalan keluar. Zahra hanya bisa tersenyum, sambil menatap ke arah pintu yang baru saja dilewati Iel.
****
Keesokan harinya, di kelas Rio XI IPA 1, begitu heboh dengan kedatangan siswa baru. Tak henti-hentinya para cowok di kelas itu menatapnya. Siswa pindahan dari Australia, dengan kehebatan setumpuk, serta wajah oriental, sehingga tak heran dia langsung terkenal seantero SMA ini. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman manis, yang membuat siapa saja akan jatuh cinta dengan senyuman itu.Ketika semua gadis di sekolah itu merutuki kehadirannya yang sekaligus bisa dekat dengan Rio, sedangkan semua cowok meratapi nasibnya yang tidak bisa seberuntung Rio. ‘Sekelas, teman semeja pula’ mungkin itu yang akan dipikirkan semua orang di sekolah itu, tak terkecuali untuk siapapun.
“Yo, gue risih nih, diliatin begitu terus” keluh gadis itu.
“Makanya jadi cewek jangan manis2 banget, jadinya begitu deh”
“Emang gue manis ya?”
“Beuuh..kalo lo nggak manis, nggak bakalan seluruh siswa pada ngelirik lo” Dia pun hanya meng ‘o’ kan mulutnya. “Btw, lo kok lancar banget sih bahasa Indonesia, khususnya bahasa gaul jakarta”
“Walaupun tinggal di Aussie, orang tua gue selalu ngajarin kebudayaan Indonesia. Kakak gue kuliah di sini, jadi kalo kita chatting sering pake bahasa ‘gaul’ jakarta ”
“Kantin nyok..Gue kenalin ke teman2 gue”
“Teman2? Bukannya gue udah tau semua orang di kelas ini ya?” tanyanya sambil mengerutkan keningnya
“Hmm, teman2 band gue”
“Hah? Lo punya band yo? Gilaa keren banget..”
“Bukan punya gue, sekolah ini yang punya”
“Wow!”
“Udah ah ayo. Jangan kelamaan, gue udah lapar.” Rio pun langsung menarik tangan Gadis itu. Sang gadis hanya bisa tertegun sejenak kemudian pasrah tangannya ditarik Rio
@kantin
“Hai guys..”
“Hei yo..” balas Ray
“Kenalin, ini teman baru gue di kelas dan teman semeja gue sekarang.” Iel, Cakka, Alvin yang membelakangi, akhirnya membalikkan badan.
“Iel?”
“Zahra kan?”
“Ya ampun, gue nggak nyangka kalo dunia tuh sempit banget” ucap Zahra
“Kok kalian bisa kenal?” tanya mereka serempak
“Ceritanya panjang. Ntarlah baru gue ceritain” jawab Iel
“Kenalin gue Cakka.” Kata Cakka sambil senyum2 gaje
PLETAK...
“Cakk, bini lo di belakang. Jangan bikin perang dunia ke 4 deh.” Ucap Ray sambil melirik Agni yang nampaknya jealous.
“Tenang. Gue ngak bakal selingkuh kok. Oh ya, kenalin ra, ini pacar gue Agni.”
“Gue Ray”
“Gue Alvin”
“Via”
“Ify, kak” ucap Ify akhirnya. Zahra menyalami mereka satu2.
“Nama gue Zahra.”
“Ehem, yo takut banget sih Zahra kabur. Dari tadi kok tangannya nggak dilepas” goda Alvin. Rio yang sadar langsung melepaskan genggamannya
“Sorry ra. Refleks!” ucap Rio sambil menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal sama sekali
“Nggak apa2.” Balas Zahra kemudian duduk makan bersama yang lain
“Lo kelas berapa yel?”
“XII IPA 1, bareng ALvin”
“Oh lo kelas dua be...hah? jadi lo lebih tua gue dong? Harusnya gue manggil lo kakak dong?”
“Hahaha..udahlah, biasa aja. Panggil nama gue juga nggak apa2.” Zahra pun mengangguk-angguk.
Sedangkan yang lain sedang asyik ngobrol dengan siswa baru ini. Ify sedang menahan rasa sakitnya. Bukan sakit penyakit, tapi hatinya. Dadanya merasa sesak melihat keakraban Rio dengan Zahra. Ify bahkan mengenal Rio lebih dulu dari Zahra. Tapi kenapa ketika bersama Zahra, Rio begitu lepas, begitu bahagia? Kenapa ketika bersama dirinya, Rio seperti menjadi orang lain. Menjadi orang yang pendiam, dan bahkan seperti membatasi jarak. Mengapa Rio dapat memegang tangan Zahra yang baru kenal beberapa jam lalu, padahal ify hanya sekali, itupun ketika Rio masih jutek padanya.
‘segitu berartinya kah dia buat lo fy?’ batin Iel yang melihat perubahan wajah Ify.
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa bel pulang pun sudah berbunyi nyaring dari 15 menit yang lalu. Namun, Ify masih duduk terpaku di taman sambil memandang ke arah kelas Rio.
“Hei, kok bengong di sini?”
“Eh ka Iel. Siapa bilang gue bengong?”
“kalo lo nggak bengong, lo pasti nyadar kehadiran gue” Ify pun nyengir, seperti anak kecil yang ketahuan berbohong.
“Pulang yuk, gue anterin”
“Eh, nggak usah kak. Nggak enak ngerepotin”
“Nggak apa2 kok, yuk” Ingin sekali Ify menolaknya lagi. Tetapi ketika melihat Rio keluar bersama Zahra, Ify pun langsung menyanggupi permintaan Iel. Iel pun langsung menarik tangan Ify ke arah parkiran. Ify hanya diam dan mengikuti langkah Iel. Tubuhnya mungkin sedang bersama Iel, tapi sekali lagi pikirannya tak tertuju sama sekali pada Iel. Ia sedang memikirkan sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Rio. Ya, nanti malam. Ia harus membicarakan hal tersebut sesegera mungkin. Hal yang menganggu pikiran dan hatinya akhir2 ini.
'apa yang ingin dikatakan ify?? bagaimana hubungan Rio, Ify, Zahra dan Iel?'
Bersambung.....
0 komentar:
Posting Komentar