Senin, 27 Juni 2011

Always have a choice - part 8

“Via!” gadis itu yang sedang menekuni makanannya pun mengangkat kepalanya
“Eh, ka Alvin. Kenapa kak?”
“Duduk sini boleh?” Via pun hanya mengangguk membiarkan Alvin duduk tepat di hadapannya.
“Yang lain mana kak?”
“Rio lagi sama Zahra, Iel lagi nganterin Ify pulang, Ray sama Cakka nggak tau ke mana” Via hanya meng’o’kan mulutnya. “Kenapa? Nggak pengen gue di sini ya?”
Via menggeleng kuat. Bukan, bukannya ia tak ingin. Ia bahkan sangat senang Alvin duduk bersamanya. Ia hanya merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, karena itu ia membutuhkan siapa saja untuk mengalihkan rasanya ini.
“Kalo gitu kenapa nanya yang lain?”
“Nggak, kan kakak biasanya rame2, nggak pernah sendiri”
“Yaah, gue juga punya privacy” ucap Alvin sambil tersenyum tipis memandang Via yang ada di hadapannya. Memandangi bidadari cantik yang turun ke bumi dan datang ke hatinya. “Vi, gue lagi suka sama satu cewek. Tapi gue nggak tau dia suka sama gue atau nggak. Gue harus gimana ya?”
Via terdiam. Ah, siapa gadis beruntung yang disukai Alvin ini. Ia menarik nafasnya dalam, mencoba menetralisir rasa sakit yang tiba2 saja muncul ketika Alvin mengatakan itu. Andai saja, ia adalah gadis itu, mungkin ia akan sangat bahagia. Tapi ia sadar, pasti bukan dirinya
“Hmm, liat aja dari gelagatnya. Apa dia nunjukkin perhatian sama kakak atau nggak. Atau buat dia cemburu kak. Misalnya kakak dekat2 sama cewek lain, Cuma buat liat reaksinya aja”
“Tapi gue takut kalau dia mikir, gue nggak sayang sama dia”
“Hmm, sepintar-pintarnya cewek nyembunyiin perasaan, pasti akan tetap terlihat dari sorot matanya kak”
“Gitu ya? Thanks ya vi. Enak juga duduk sama lo, lo bisa jadi guru cinta gue” ucap Alvin sambil terkekeh. Namun berbeda dengan Via yang tersenyum tipis, sangat tipis. Bahkan hanya dirinya saja yang tau bahwa ia sedang tersenyum.
“Sama2 kak”
“Sebagai tanda terima kasih, gimana kalau pulangnya gue anterin lo pulang”
“Jangan ah kak. Nggak mau ngerepotin”
“Kan sebagai tanda terima kasih gue”
“Ntar gebetan kakak, kabur lagi”
“Kan katanya pake taktik ngebuat jealous”
“Heuh..Iya deh. Terserah kakak aja. Via mah ikut aja” Alvin tersenyum tipis. Sebenarnya bukan sebagai tanda terima kasih. Ia hanya ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama via. Ia juga hanya ingin mengantar bidadari hatinya ini pulang ke rumah dengan selamat.
*****
Berbeda dengan Via, Shilla saat ini sedang tertawa mendengar kekonyolan Ray. Ia bahkan tak mengerti bagaimana bisa merasa begitu nyaman dengan adanya Ray di sampingnya. Ia bahkan masih tak mengerti bagaimana bisa ia dan Ray ada di taman ini.
“Udah ah ka, Shilla sakit perut ketawa terus”
“Siapa suruh mau ketawa terus”
“Siapa suruh ka Ray ngelawak”
“Duh, jangan manggil kak dong. Gue serasa tua. Padahal wajah gue kan masih imut2 begini” ucap Ray sambil mengedip-kedipkan matanya
“Diiiih...geli banget...imut dari mana? Tua sih iya”
“ngaku aja deh shill, gue emang imut dan cakep kan?” tanya Ray sambil menaikturunkan alisnya
“Iya deh, terserah ka Ray aja”
“Jangan pake kak”
“Udah kebiasaan ka”
“Yah, biasain manggil Ray aja”
“Tapi kan nggak enak, masa semua teman2 gue manggil ka Ray, gue manggilnya Ray aja. Sok dekat banget gue”
“Kalo mereka emang wajib manggil gue kak. Kalo lo, khusus nggak boleh manggil gue kak. Lagian lo bukan sok dekat kok, lo emang dekat kan sama gue” ucap Ray membuat Shilla tertegun. Ah, apalagi ini. Mengapa ia merasa darahnya berdesir cepat mendengar kata2 Ray. Dapatkah ia berharap lebih pada Ray? Atau Ray hanya menganggapnya adik saja?
“Hmm, iya deh ka..eh Ray”
“Nah gitu dong. Itu baru namanya Shilla” ucap Ray dan mengacak rambut Shilla lembut. Ini sama sekali tak pernah dialami Shilla. Ia bahkan belum pernah sedekat ini dengan cowok. Teman2 cowok di kelaasnya pun tak sampai seperti ini. Palingan, ia hanya mengobrol dan bercanda biasa. Tapi ini berbeda. Dan mengapa saat ini Shilla melihat Ray sebagai sosok yang lain? Dulu Shilla hanya menganggap Ray adalah anak band, teman Rio dan Iel, yang dekat dengan Ify. Just it. Hanya itu. Mengapa ia sekarang melihat Ray sebagai sosok dewasa yang dapat dijadikan tempat bersandar? Mengapa ia melihat Ray sebagai sosok yang dapat diandalkan? Mengapa ia melihat Ray sebagai sosok yang dapat mengisi ruang hati Shilla yang kosong?
“Shill” ucap Ray sambil menggerak-gerakan tangannya di depan mata Shilla.
“Eh”
“Kok bengong sih ngeliat gue? Udah kena pesona gue ya?” ucap Ray narsis membuat Shilla menoyor kepala Ray
“Dih, narsisnya nggak ketolongan”
“Hehe. Makanya lo tolongin dong. Kenarsisan gue Cuma bisa ditolong sama cewek cantik kayak lo” Lagi, lagi, dan lagi ucapan ray membuat Shilla terpaku.
“Iye, jadi nggak narsis lagi tapi sok gombal.” Sahut Shilla membuat Ray tertawa.
“Btw, lo udah punya cowok Shill?”
“Belum. Kenapa emang? Mau daftar jadi calonnya?”
“emang masih buka pendaftarannya?”
“Masih, tapi ada syaratnya”
“Apa sih syaratnya?”
“Kalo pas nembak gue, harus beliin gue boneka Panda yang gedeee banget + 100 tangkai bunga mawar putih. Terus orangnya harus romantis. Bukan kayak lo Ray, lo mah nggak ada romantis2nya, berarti lo nggak bisa mendaftar” ucap Shilla santai, namun beberapa detik kemudian ia merutuki kata-kata yang baru saja ia keluarkan. Mengapa ia melakukan kesalahan bodoh seperti itu? Tapi jika ia mengatakan itu pun tak akan berpengaruh besar pada Ray kan? Toh Ray juga tak menyukainya. Tanpa Shilla sadari, ada perubahan ekspresi di wajah Ray, yang tak bisa diartikan. Hanya Ray yang tau.

******
“Yeeeey. Menang lagi” sorak Agni ketika ia baru saja menyelesaikan pertandingan basket melawan Cakka, kekasihnya sendiri
“Itu kan karena gue yang ngalah”
“Halah, ngaku kalah aja susah”
“Iya, iya, gue selalu kalah basket sama lo” ucap Cakka akhirnya dan duduk di sebelah Agni yang duduk di tengah lapangan. Mereka berdua memang berada di sebuah lapangan tua yang sudah lama tidak digunakan oleh sekolah, karena sekolah mereka sudah memiliki gedung olahraga sendiri. Oleh karena itu, lapangan ini yang letaknya memang agak jauh dari gedung sekolah tidak terawat lagi, dan jarang yang datang ke sini. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak ada yang tau. Lapangan ini pun ditemukan secara tidak sengaja oleh Cakka
“Nih” ucap Agni sambil menyerahkan sebotol air minum pada Cakka. Tak butuh lama, Cakka telah meneguk seluruh isi botol itu.
“Thanks” ucap Cakka, sedangkan Agni mengambil sapu tangannya, menghapus keringat Cakka. “Duh, pacar gue perhatian banget sih. So sweeet deh” Agni langsung mendorong wajah Cakka dengan sapu tangannya itu
“gue perhatian salah, gue nggak perhatian salah. Maunya apa sih?” rengut Agni
“Hehehe. Lo cukup jadi diri lo sendiri kok. Gue sayang sama lo, apa adanya, bukan ada apanya.” Ucap Cakka sambil tersenyum membuat Agni menyandarkan kepalanya di bahu Cakka, Cakka mengalungkan tangannya di bahu Agni.
“Gue juga sayang sama lo Cakk. Lo janji ya, jangan pernah ninggalin gue.” Cakka mengecup puncak kepala Agni
“Gue, Cakka Kawekas Nuraga berjanji nggak akan pernah ninggalin Agni” Agni pun memeluk Cakka dari samping *ngerti maksud gue nggak*
“Hmm, Cakk gue jadi inget Rio-Ify-Iel”
“kenapa emang?”
“Ntah bagaimana, gue ngerasa Rio sama Ify saling menyayangi. Tapi yang nggak gue ngerti dan ngebuat gue cukup kaget adalah Ify jadian sama Iel.”
“Jangan ngaco ah, say”
“gue nggak ngaco. Gue Cuma ngeliat tatapan Rio-Ify aja. Yang gue yakini tatapan Ify ke Rio berbeda dengan tatapan Ify ke Iel. tatapan Ify ke Iel tuh terlihat Cuma sebatas kakak. Sedangkan tatapan Ify ke Rio lebih dalam.”
“Kita biarin aja mereka selesaikan masalah mereka.” Agni pun mengangguk
“Say, lo bau banget deh”
“Cakkaaaa” teriak Agni membuat mereka berkejar-kejaran di lapangan.
“Hahaha..Ampun say, ampun” ucap Cakka yang berbaring di tengah lapangan, sedangkan agni masih saja belum puas menggelitik Cakka
“Bodo. Siapa suruh.” Cakka langsung menahan tangan Agni, dan menarik Agni sedikit ke arahnya. Membuat Agni menindih tubuh Cakka. Tatapan mata mereka begitu dalam, seolah dari tatapan, sudah dapat mengatakan segala yang ingin mereka lakukan. Cakka mendekatkan wajahnya pada Agni, Agni pun mendekatkan wajahnya, membuat jarak di antara mereka berdua begitu tipis. Keduanya menutup mata. Sentuhan lembut dari bibir Cakka dapat dirasakan Agni tepat di bibirnya.
Teng..teng...teng...
Bunyi bel membuat mereka berdua tersadar, kemudian melepaskan pelukan mereka. Duduk di tengah lapangan. Terdiam, dengan  wajah memerah.
“Maaf” ucap keduanya secara bersamaan
“Maafin gue ya ag, seharusnya gue...”
“Hmm, nggak apa-apa kok. Yuk balik ke kelas” ucap Agni tipis. Cakka pun mengangguk kemudian menggenggam tangan Agni lembut, menunjukkan bahwa ia benar2 tidak ingin kehilangan Agni, ataupun ia tidak akan meninggalkan agni

******
“Udah nyampe fy”
“Makasih ya.”
“Apa sih yang nggak buat kamu” ucap Iel sambil tersenyum manis
“Mau masuk dulu nggak ka?”
“Hmm boleh deh” Iel pun memarkirkan motornya kemudian mengikuti Ify ke dalam.
“maaf ya ka, gara2 aku, ka Iel jadi bolos pelajaran”
“Nggak apa2 sayang. Yang penting kamu nggak apa2” ucap Iel sambil menggandeng tangan ify.
“Mau minum apa ka?”
“Nggak usah repot2 sayang, kamu kan lagi sakit” Ify menggeleng pelan
“Nggak kok”
“Air putih aja deh” Ify mengangguk dan membiarkan Iel duduk di taman belakang rumahnya. Ify telah memegang segelas air putih untuk Iel, namun ia terhenti ketika mendengar mamanya sedang mengobrol dengan seorang laki-laki
“Ma.” Panggil Ify pelan, namun membuat mamanya tersentak
“Ify kamu udah pulang?”
“Tadi ify nggak enak badan, makanya pulang.”
“Dianterin siapa?”
“Ka Iel, pacar Ify. Ini siapa ma?” tanya Ify yang tak melepaskan pandangannya pada sosok laki-laki yang ada di hadapannya.
“Ini om Doni.” Ify mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan
“Ini?” tanya laki-laki itu dengan suara serak seperti menahan tangisannya sendiri
“Ini Ify.” Ucap mama Ify pelan, bahkan seperti bisikan “anakmu” tambah mamanya membuat Ify dan laki-laki yang ada di hadapannya itu terpaku. Papa ify atau bisa dikatakan papa Rio juga langsung memeluk Ify. Ify sama sekali tak membalas pelukannya. Tangannya seperti mati rasa, bahkan hatinya pun tak dapat berkata apa2 melihat semua yang ada di hadapannya. Mengapa semua ini terlihat begitu tiba-tiba. Tangan Ify bergetar, menunjukkan apa yang ia rasakan. Antara sedih, marah, bahkan takut untuk melangkahkan kakinya menghadapi dunia yang terlihat begitu kejam baginya. Masih belum cukupkah semua kenyataan pahit yang ia terima kemarin, mengapa masih harus ada yang lain? Papanya pun mengendorkan pelukannya.
“Aku pergi dulu ma...om” ucap Ify bahkan tak melihat kedua orang yang ada di hadapannya. Tatapannya kosong. Tak ada air mata, tak ada amarah, ia benar2 mati rasa. Tak tau apa yang harus ia lakukan lagi. Ia berjalan ke halaman belakang menemui Iel.
“Ini ka”
“Makasih fy” ucap Iel dan langsung meneguk air di gelas itu. “Kamu kenapa?” tanya Iel ketika melihat ekspresi Ify yang tak bisa diartikan
“Nggak, Cuma cape aja kak” ya, ia lelah. Bukan karena ia sedang sakit, tapi ia lelah dengan semua yang ia hadapi.
“Kalau gitu aku pulang aja ya, kamu istirahat yang cukup” ucap Iel sambil menepuk puncak kepala Ify. Ify hanya tersenyum kemudian mengangguk. “Aku pulang dulu ya.”
“Hati2 di jalan ka” Iel mengangguk kemudian berjalan ke arah parkiran. Ia berhenti kemudian berbalik menatap Ify
“Hmm, fy. Tadi aku ngelihat papanya Rio ada di ruang tamu. Dia ngapain di sini?” Ify tercekat, tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, karena jauh di lubuk hatinya ia masih berharap bahwa ini semua hanya mimpi dan ia akan bangun dari semua mimpi buruk ini suatu saat nanti
“teman kantor mama” Iel pun mengangguk mengerti, walaupun ntah bagaimana ia masih merasa bahwa ini tak sesederhana itu
“Aku pulang ya. Bye.” Iel pun pergi dan benar2 menghilang dari hadapan Ify. Ify masuk lagi ke rumahnya. Namun, tampaknya mamanya dan papa Rio telah pergi. Ia mendesah. Ia masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya, kemudian memeluk boneka tedy bear yang dulu diberikan Rio padanya. Apa yang ia rasakan saat ini? ntahlah ia bahkan tak bisa mendefinisikan apa yang ia rasakan saat ini. Lagi, lagi ia memilih untuk memejamkan matanya, tertidur dan ketika ia bangun semuanya akan kembali normal.

*******
“Makasih ka, udah anterin Via”
“Iya sama2. Lo masuk dulu, baru gue pulang” ucap Alvin yang akhirnya membuat Via masuk ke rumahnya. Ada seorang laki-laki tinggi membukakan pintu untuk Via, membuat Alvin tertegun.
‘dia’ batin Alvin. Ia rasa ada sesuatu yang harus dijelaskan. Ia memasang helm-nya lagi. Semua kenangan dulu menyeruak kembali ke dalam dadanya. Mengapa ia harus bertemu dengan orang itu lagi. Mengapa dunia begitu sempit? Mengapa ketika ia jatuh cinta, ia harus dipertemukan dengan orang yang membuatnya mengalami mimpi buruk selama bertahun-tahun. Oh, bukan mimpi buruk, namun kesepian yang begitu dalam. Kemudian ia menstarter motornya. Ada sesuatu yang harus dijelaskan

*******
“Saya tidak menyangka bahwa Ify sudah sebesar itu”
“...”
“Saya tidak menyangka bahwa sudah begitu lama saya tak bertemu dengan Ify. Ah, bukan hanya Ify, saya bahkan tidak begitu perduli dengan Rio, karena sibuk bekerja. Apa yang harus saya lakukan, manda ?” tanya pak Doni, papa Rio dan Ify putus asa.
“Ubah semuanya. Kamu tidak akan pernah bisa kembalikan waktu, namun kamu bisa merubah semua sikap kamu  dengan waktu yang ada sekarang” saran bu manda, mama Ify, pelan.
“Yah, saya rasa kamu benar. Tapi saya sudah begitu mengecewakan mereka, bahkan saya melakukan kesalahan besar, sampai mereka berdua bisa jatuh cinta”
“Katakan yang sebenarnya pada mereka Don, saya mohon.” Ucap mama manda, sambil terisak
“Tidak bisa seperti itu manda, mau taruh di mana nama besar keluarga Haling, jika saya mengatakan yang sebenarnya”
“Itu tidak akan berpengaruh pada nama besarmu! Ini menyangkut Rio dan Ify, Don. Apa kamu tega membiarkan mereka menderita? Apa kamu tega membiarkan mereka menekan perasaan mereka sendiri? Di mana hati kamu sebagai seorang ayah? Di mana Don? Atau yang kamu pikirkan hanya nama besar haling?” bentak mama manda
“Apa kamu juga tidak pernah memikirkan perasaan Rio, jika mereka tau yang sebenarnya? Apa kamu tega sebagai seorang Ibu membiarkan anakmu sendiri terluka hah?” tanya pak Doni tak kalah sengit
“Saya tidak tau harus melakukan apalagi Don. Saya merasa semuanya serba salah Don”
“hh, kita pikirkan jalan yang lebih baik untuk mereka. Oh ya, bagaimana jika kita makan malam bersama nanti?”
“Untuk apa?”
“Hanya untuk saling mengenal, dan membiarkan semuanya terungkap secara perlahan. Mereka masih terlalu labil, jika mengetahui yang lebih pahit dari kenyataan ini”
Mama manda pun hanya bisa mengangguk mendengar perkataan papa Doni. Apa yang harus ia katakan, ia sendiri bahkan kehilangan semua kata-katanya..

Bersambung..
Huaaa..makin aneh nih cerbung. Nggak tau mau menyelesaikan cerita ini kayak gimana. Maaf, lagi nggak ada ide. Oh ya, kali ini Ify_rio_iel dikit, soalnya selama ini mereka yang paling banyak. Jadi mau ceritain yang lain dulu. Sebenarnya sih mau ngaku dosa, kalau penulis lupa ada tokoh via, Shilla, Ray, Cakka, Agni yang harus dibahas. Oleh karena itu, part ini khusus untuk mereka. Hehehe...
Gimana kelanjutannya? Rify? Fyel?
Apa yang disembunyikan orang tua Rify? Bagaimana acara makan malamnya?
Gimana hubungan Alvia? Siapa yang sebenarnya dilihat Alvin?
Apa yang sebenarnya dirasakan Ray pada Shilla?

Kebahagiaan - cerpen

                Hai! Aku ingin menceritakan sedikit tentang hidupku. Aku adalah gadis cantik, di mana semua mata lelaki menatap padaku. Aku gadis populer di sekolahku Aku tinggal di salah satu perumahan elit dan selalu membawa monil ke sekolah. Nilaiku selalu baik, tak pernah gagal, bahkan selalu mendapatkan peringkat 1 di kelasku. Aku pun punya seorang pacar yang tampan. Aku sangat bahagia
-The end-
                Oh tidak! Ini bukanlah akhir dari ceritaku. Bahkan awal ceritaku pun tak seperti di atas. Namaku Alyssa Saufika Umari. Keluargaku memanggilku Ify. Wajahku biasa saja, tidak dapat dikatakan cantik. Jelek? Aku rasa tak ada satu orang pun di dunia ini yang jelek, karena sebenarnya penilaian itu relatif atas apa yang kita lihat. Intinya wajahku biasa saja. Aku bukanlah gadis yang ketika lewat maka semua mata lelaki akan memandang padaku. Tapi aku hanyalah Ify, sama sekali tak menarik, karena aku memang sedikit tomboy. Aku tidak tinggal di kawasan elit. Aku ngekos di jakarta, karena orang tuaku berada di daerah dan tinggal di rumah yang dipinjamkan oleh kantor ayahku. Catat, DIPINJAMKAN! Bukan rumah elit. Keluargaku bukanlah keluarga kaya di mana, ketika ulang tahunku, aku boleh memilih hadiah apa yang aku inginkan, bahkan termasuk jalan2 di Paris dalam 1 minggu. Bukan. Keluargaku juga tidak miskin sekali, namun berkecukupan. Aku selalu naik mobil ke sekolah, tapi janganlah kalian berpikir bahwa aku membawa mobil ke sekolah. Aku hanya NAIK, dan aku naik bus langgananku. Toh bus juga mobil kan? Jarang sekali aku mendapat peringkat pertama. Walaupun aku masih masuk dalam 5 besar sih. Tak pernah gagal? Oh guys, aku juga hanya manusia biasa. Aku sering gagal.
                Aku yakin, kalian tak ingin membaca kisahku lagi. Karena aku adalah gadis yang biasa saja, tidak populer, tidak terlalu pintar, tidak kaya, apa yang menarik dari kisahku ini? terserah pada kalian. Aku di sini hanya ingin membagikan kisahku dan pandanganku tentang apa itu kebahagiaan.
                “Ify!” aku memalingkan wajahku pada sosok laki-laki yang sedang melambaikan tangan padaku “Kamu ngapain di sini?”
                “Hanya sedang membuat cerpen”
                “Dasar miss story. Hayalanmu terlalu tinggi fy. Tapi aku yakin, jika ceritamu dipublikasikan ke orang-orang, semua pasti akan senang sekali dengan ceritamu itu. ” Aku hanya terkekeh mendengar penuturannya. Ku alihkan pandanganku ke arah laptopku lagi.
Oh ya, aku lupa 1 hal. Pacar? Pasti kalian berpikir bahwa yang menyapaku tadi adalah pacarku. Tidak, tidak. Dia adalah sahabatku, namanya Alvin. Aku belum punya pacar, lebih tepatnya aku belum pernah pacaran. Dari SMP sampai SMA sekarang, aku memang menyukai Alvin. Namun, sayang aku hanya bisa menyimpan perasaanku itu dalam-dalam. Menyimpan perasaanku begitu rapat, sehingga semuanya nampak biasa saja. Apa aku bahagia? Entahlah. Itu semua tergantung bagaimana kau memandang arti kebahagiaan. Aku sendiri tak mengerti apa itu bahagia. Apa bahagia itu adalah ketika kita memiliki semuanya?
“Fy temenin aku ke kantin yuk”
“Kamu pergi saja”
“Aku mau ditemenin kamu” ujarnya seperti anak kecil
“Oh gosh! Vin, kamu nggak liat aku sibuk tulis cerita?”
“Dilanjutin di kantin aja”
“dan kamu juga tau kan aku harus segera menulis ide yang ada di otakku”
“Ayolah fy”
“Alvin!” akhirnya dia diam. Tapi bukannya berjalan ke kantin meninggalkanku, ia malah duduk di depanku dan memandangku. Aku mendengus pelan. “Kalo mau pergi, pergi aja. Kalo mau nunggu, nunggu aja. Tapi jangan ngeliatin aku kayak gitu dong” ujarku sewot, tapi masih tetap mengetik. Dia terkekeh
“kamu cantik” aku terhenti sejenak ketika mendengarnya. Nmun ku fokuskan lagi pikiranku dan lanjut mengetik.
“Cantikan mana sama via?”
“Maaf ya fy, bukannya aku nggak setia kawan tapi Via lebih cantik bagiku.” Jawabannya telak menusuk hatiku. Yah aku tau, ia memang menyukai via. Lantas, apalahi yang ku harapkan? Aku menutup laptopku
“Ayo kita pergi” ucapku dan memasukkan laptopku ke tas yang ku bawa
“Sini” ia pun mengambil tas itu dari tanganku. Ia memegang di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya merangkulku
“Vin, kamu nggak takut via cemburu?”
“Sahabat aku ini. Nggak apa-apa dong” ucapnya santai. Bukan. Aku bukanlah gadis baik yang memikirkan perasaan Via, temanku. Tapi aku adalah gadis egois yang memikirkan perasaanku sendiri. Aku tak mau sikap Alvin seperti itu malah membuatku berharap banyak. Harapan yang tak seharusnya aku biarkan bertumbuh
“eh couple of this year udah datang” goda teman2ku
“apaan sih?”
“Abisnya kalian lebih kayak orang pacaran tau nggak, daripada kayak sahabatan” celetuk Rio
“Kenapa yo? Cemburu?”goda Alvin sambil menaik-turunkan alisnya.
“Udah deh, ke sini tujuannya buat makan kan vin.” Ucapku. Alvin pun nyengir
“Mau makan apa fy?”
“Aku nggak makan, aku Cuma nemenin kamu doang” Ia pun mengangguk dan menyerahkan tas laptopku dan memesan makanan.
Tak jauh dari tempatku duduk, ada Via dan Iel yang sedang pacaran. Mereka begitu terlihat serasi. Andai saja, Alvin tidak punya perasaan pada Via, mungkin akulah yang akan meluluhkan hatinya. Atau orang lain juga?
******
“Cieeee, yang udah jadian. PJ cuy” ucapku pada sahabatku dan Via, yang membuat mereka berdua jadi salah tingkah.
Beberapa minggu yang lalu Via putus dengan Iel karena sikap Iel yang katanya ‘cuek’ dan ‘tak perhatian’. Pada saat Via merasa sendiri datanglah Alvin yang selalu ada dan hadir saat Via membutuhkannya. Oh, terdengar seperti sinetron zaman sekarang. Tapi itulah kisahnya, aku bahkan tak bisa berkata apa-apa ketika Alvin menelponku semalam. Semuanya terlihat begitu tragis. Mengapa aku tak bisa mendapatkan yang aku inginkan? Mengapa aku tak bisa merasakan kebahagiaan? Tak pantaskah? Aku berharap bahwa ceritaku happy ending, bahwa nantinya Alvin sadar akan perasaanku dan membalas perasaanku. Namun itu semua hanyalah hayalan dan harapanku.
“Vin, Vi, aku pergi dulu ya. Dipanggil bu Winda”
“katanya mau ditraktir” cibir Alvin
“Hehehe. Ntar aja. Biasa orang sibuk”
Aku pun segera meninggalkan sepasang kekasih itu. Mereka begitu terlihat bahagia. Aku sama sekali tak dipanggil bu Winda, aku hanya ingin pergi ke taman dan menenangkan diriku.
“Hei” ucap seseorang membuatku menoleh “katanya mau ke bu winda” sindirnya
“Hmm..”
“Kalau mau nangis, nangis aja” Aku menatapnya heran “Aku tau, kamu mungkin adalah salah satu orang yang tak bisa menangis di hadapan orang lain, atau mungkin kamu adalah orang yang tak ingin menyelesaikan sesuatu dengan tangisan, tapi tak ada salahnya jika kamu ingin mengekspresikannya lewat tangisan.”
“Aku hanya takut, aku tak bisa menghentikan tangisan itu.”
“Ada aku”
Aku terdiam. Air mataku mulai jatuh. Menangis? Oh itu bukanlah diriku. Aku jarang sekali menangis. Atau seandainya aku menangis pun, aku tidak akan menangis di depan seseorang. Tapi kenapa saat ini aku menangis di hadapannya? Ia memelukku erat, seolah ingin mengatakan bahwa aku tak pernah sendirian di dunia ini. Atau memberikan kekuatan untukku.
“Kamu harus janji satu hal padaku. Kamu bebas menangis hari ini, tapi besok aku tak ingin melihat tangisanmu lagi.” Ucapnya. Ah, kenapa bukan dari awal saja aku menyukainya. Rio
*****
Sejak kejadian aku menangis di taman, aku pun semakin dekat dengan Rio. Tapi yang tak ku mengerti adalah bagaimana bisa ia membuat pandanganku hanya padanya. Bagaimana bisa ia membuat pikiranku yang selama ini tertuju pada Alvin, sekarang hanya padanya? Bagaimana bisa ia membuatku rindu padanya, seperti saat ini? Ia tidak masuk sekolah hari ini, dan aku sibuk memandang jam tanganku. Berharap agar bel pulang segera berbunyi dan aku dapat menjenguk Rio yang katanya sakit.
TENG...Teng...teng...
Aku langsung memasukkan buku ke dalam tas dan menarik tasku.
“Fy, mau ke mana?” tanya Alvin
“Mau jengukin Rio”
“Ehm. Mau jenguk suaminya ya?” ledek Cakka membuat aku menggembungkan pipiku.
“Temen”
“Temen kok pipinya merah?”
Aku pun mendengus kesal
“Aku pergi ya.” Aku langsung meninggalkan mereka yang masih betah meledekku. Argh..Akhir-akhir ini semua suka meledekku dengan Rio, hanya karena kedekatan kami, yang kata teman2ku ‘lebih dekat daripada aku dengan Alvin’

@rumah Rio
“Siang. Rionya ada tante?”
“Eh Ify. Ada. Dari tadi pagi dia nggak mau makan, akhirnya dia nggak bisa minum obat. Tante sampai bingung” Aku hanya mengangguk-angguk mengerti. Aku memang sudah beberapa kali pergi ke rumah Rio untuk belajar bersama atau mengerjakan tugas. Karena itu, mama Rio sudah mengenalku.
“Langsung naik aja fy”
“Ify naik dulu ya tante” mama Rio pun mengangguk. Aku masuk ke kamar Rio. Terlihat Rio sedang tertidur. Ah, wajahnya begitu manis. Aku melihat makanannya yang masih tergeletak di sana. Aku menyentuh pipinya, sekedar mengecek suhu tubuhnya. Ternyata ia memang panas. Ia pun mulai membuka matanya.
“Rio”
“Hai fy” ucapnya sambil mengerjapkan matanya
“Kamu makan ya”
“Nggak mau”
“Kalo nggak makan, kamu nggak bisa minum obat, terus kamu nggak bisa cepat sembuh, terus kita nggak bisa jalan2 lagi deh”
“Iya deh. Tapi kamu yang suapin ya” Aku mengangguk. Aku mengambil piring makanannya, duduk di tepi tempat tidurnya, dan mulai menyuapinya. Ini pertama kalinya aku menuapi orang yang bukan keluargaku. Bahkan Alvin pun tak pernah. Aku masih tak mengerti, bagaimana bisa ia membuatku melakukan sesuatu yang bahkan belum pernah ku lakukan untuk orang lain. Waktu itu, aku menangis di hadapannya, dan saat ini aku menyuapinya. Setelah selesai, aku mengambil tissue dan membersihkan sudut bibirnya yang kotor. Namun, tanganku dihentikan oleh genggamannya. Ia menatapku dan berhasil mengunci pandanganku hanya padanya. Ia mendekatkan wajahnya padaku, oh my god, apa yang harus ku lakukan. Yang aku yakin adalah aku sedang tidak bermimpi, karena jantungku berdegup terlalu cepat. Dan aku yakin ini bukan mimpi karena aku merasa wajahku memanas, dan merasakan desahan nafasnya. Akhirnya aku menutp mataku.  Aku masih tak mengerti mengapa aku begitu terpengaruh olehnya.
“Makasih ya” bisiknya tepat di telingaku. Aku pun membuka mataku. Oh, aku kira dia akan menciumku. Hei, kenapa aku bisa berpikir seperti itu?
“Sama-sama. Aku pulang dulu ya” pamitku dan segera pulang. Pikiranku kacau. Apa benar aku jatuh cinta padanya? Apa benar ia berhasil menghapus perasaanku pada Alvin? Jantungku berdegup cepat. Apakah aku bahagia?
****
Hari sudah menjelang sore, namun masih terlihat segelintir orang yang masih sibuk dengan ekskulnya atau hanya sekedar bermain basket. Aku pun ada di sini. Berlari dari ruang perpustakaan ke ruang bu Winda, yang kali ini benar-benar memanggilku. Aku harus segera mengumpulkan laporanku
BUG
Aku terjatuh. Memegang sejenak kepalanya yang terkena bola basket. Baru saja aku mengangkat kepala dan ingin memarahi yang melemparkan bila basket itu, bibirku terkunci rapat ketika melihat siapa yang datang menghampiriku.
“Maafin aku ya. Aku nggak sengaja. Sini aku liat” ucap laki-laki itu sambil melihat dahiku “merah. Mau obat yang ampuh nggak?” Aku hanya mengangguk menjawab pertnyaannya
CUP..
Aku terperangah. Beberapa orang yang melihat kejadian tadi pun bersorak. Oh tidak, ia mengecup dahiku. “pasti sembuh” ucapnya seolah mantera yang membuatku menahan nafas melihat wajahnya
“Yo, jangan pacaran di situ ah. Kalo mau di rumah aja.” Ucap Alvin, yang entah bagaimana membuatku merasa pipiku memanas.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rio yang tidak perduli dengan ucapan Alvin. Ah, aku lupa. Aku kan harus ke ruang bu Winda
“Laporan” jawabku singkat. Aku kehilangan kata-kataku. Kenapa aku selalu kehilangan kata-kata jika bersama dengannya. Namun mendengar 1 kataku saja, sepertinya ia mengerti. Ia pun mengangguk-angguk dan membantuku berdiri.
“Mau aku temenin?”
“nggak usah”
“Aku tunggu kamu ya. Kita pulang bareng” Aku pun hanya mengangguk kemudian berjalan meninggalkannya. Aku melihat semua pasang mata yang ada di situ masih menatap kami berdua. Oh, tidak! Aku benar-benar malu.

Setelah selesai berurusan dengan bu Winda, aku kembali ke lapangan. Namun lapangan sudah sepi. Aku celingkuan mencari seseorang di sana. Seseorang yang berjanji untuk pulang denanku.
“Nyari aku ya?” Aku mundur selangkah karena kaget
“Rio! Kamu buat aku kaget tau nggak sih. Iya aku nyari kamu. Pulang yuk”
“hehe. Maaf. Yuk” ucap Rio sambil menggandeng tanganku, membuat wajahku memerah
“Ify masih sakit nggak?” tanya Rio sambil menunjuk dahi
“Masih, tapi udah berkurang kok”
“Mau aku cium lagi nggak, supaya sembuh?” tanya Rio yang membuatku langsung manyun
“Itu sih maumu” Dia hanya terkekeh. Aku menatapnya. Apakah ia memang menyukaiku, atau hanya menganggapku sebagai sahabat seperti Alvin? Apakah aku harus terus menerus mengalami sakit hati? Kapan kebahagiaan itu menghampiriku?
******
1 tahun kemudian
Aku sudah lulus SMA, dan sekarang aku kuliah desain interior di salah satu universitas terkenal. Saat ini aku sedang menunggu seseorang, kekasihku. Bukan cara yang romantis ketika ia meyatakan bahwa ia sayang padaku dan menginginkanku menjadi pacarnya. Namun, aku tak pernah bisa melupakan hal itu. Ia juga bukan Alvin, karena Alvin sudah bersama Via saat ini. Tapi orang lain yang entah bagaimana berhasil menyusup dalam hatiku dan menempati hatiku hampir seluruhnya. Yah, hampir. Karena di sudut hatiku, masih ada sedikit rasa pada Alvin yang tak bisa ku lupakan. Tapi aku yakin rasa kecil itu tak akan bertumbuh.
Tiba-tiba ada seseorang menutup mataku dengan tangannya.
“Aku tau, itu kamu Rio”
“Lama ya? Maaf” ucapnya setelah duduk di sebelahku
“Nggak kok. Apa sih yang nggak buat kamu” ucapku gombal membuat dia tertawa dan mengacak rambutku “Rio berantakan!”
“Maaf. Abisnya kamu ngegombal sih belajar dari mana?”
“Dari kamu” dia tertawa lagi, namun kemudian menyisir rambutku dengan jari-jarinya agar terlihat rapi
“Jalan yuk”
“Ke mana?”
“Makan. Aku lapar” ucapnya sambil mengelus perutnya. Aku pun mengangguk. Tapi pandanganku terhenti pada sekelompok anak2 yang aku yakini, anak jalanan karena terlihat dari baju mereka yang lusuh. Namun anak2 itu tersenyum lebar bahkan tertawa. Kenapa mereka bisa sebahagia itu?
“Fy” aku tersentak mendengar panggilan Rio “Ayo. Kok kamu malah bengong?” aku tersenyum. Akhirnya aku tau apa itu kebahagiaan. Aku pun berlari menghampiri Rio dan memeluk lengan kirinya
“Aku sayang kamu yo” ucapku dan mengeratkan pelukanku.
“Aku juga sayang kamu cantik” ucapnya sambil tersenyum


Menurutku kebahagiaan bukanlah ketika kita memiliki semua hal. Tetapi kebahagiaan adalah ketika kita selalu mengucap syukur atas apa yang kita miliki, bahkan dalam segala kekurangan itupun.
-Alyssa

The end-
Cerpen aneh bin ajaib lagi. Dasar penulis aneh, ngebuat cerita yang aneh begini...Maaf, maaf..Tapi makasih ya, yang udah mau menyempatkan waktu untuk baca cerpen aneh ini. Makasih. J

Ketika sang waktu ........... - cerpen

Terkadang ketika mengakhiri sebuah hubungan,
Kita ingin sekali tak pernah melihatnya lagi.
Namun, terkadang waktu akan berbicara lain

                “maaf” hanya itu yang terlontar dari bibirku, ketika aku secara tak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Aku membantu orang yang ku tabrak tadi. “Ify?”
                “Rio?” Kami berdua sama-sama diam. Tak ada kata yang bisa kami utarakan
“Maaf ya” ucapku sekali lagi.
“Nggak apa2 yo. Aku juga yang salah, nggak ngeliatin jalan” Ia pun tersenyum tulus “aku duluan ya” ucapnya dan hendak pergi, namun ku tahan tangannya
“Sibuk nggak? Udah lama nggak ngobrol” ucapku. Yah, aku hanya ingin mengobrol. Tak lebih. Sungguh! Aku tak mengharapkan ia kembali padaku. Walaupun jauh dalam lubuk hatku aku masih sangat menyayanginya, tapi aku tau ia sudah milik orang lain. Nampak ia berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Aku mengajaknya ke salah satu cafe.
“Permisi mas, mau pesan apa”
“Hot frappucino 1 & ice choccolate 1” ucapku pada pegawai cafe itu. Pegawai itupun segera pergi.
“Kamu masih ingat?” tanyanya nampak tak percaya bahwa aku masih sangat mengingat apa minuman yang ia sukai. Aku hanya tersenyum kemudian mengangguk.
Tak lama minuman pun datang. Tangan kiriku, menopang daguku dan tangan kananku hot frappucino yang telah ku pesan. Aku masih saja menatap gadis yang ada di hadapanku. Sudah berapa tahun aku tidak bertemu dengannya. Selama itu pun, ia masih saja menempati hatiku. Mengapa aku tak bisa melupakannya? Mengapa aku terus saja mengenang apa yang terjadi di antara ku dan dia? Ia meminum ice chocolate-nya, sambil menyingkirkan sedikit rambutnya. Ah, dia sama sekali tak berubah. Atau aku yang terlalu mengingat setiap gerakannya?
“Gimana kabarmu?” tanyaku memecah keheningan di antara kami berdua. Dia mengangkat wajahnya, kemudian tersenyum
“Baik. Kamu?”
“Seperti yang kamu lihat”
“Kamu kurusan yo”
“Masa sih, Cuma perasaanmu aja”
“Gimana?” Aku menaikkan sebelah keningku, tak mengerti dengan apa yang diucapkan “maksudku sekarang kamu sama siapa? Pacarmu” tanyanya agak hati-hati, mungkin takut aku terluka lagi dengan kejadian yang dulu.
“Nggak ada”
“Masa sih?”
“Iya”
“Kenapa? Aku yakin pasti banyak yang mau sama kamu”
“Iya sih, tapi masih sulit ngelupain kamu. ” ekspresi wajahnya langsung berubah, seperti merasa bersalah “bercanda kok. Emang belum ada yang cocok” akhirnya dia sedikit tersenyum. “Gimana hubunganmu dengan Gabriel?”
“Baik. Hmm, minggu depan kami akan tunangan”
“Selamat ya. Jangan lupa undangan loh” ucapku. Ia pun tersenyum manis. Aku sangat merindukannya. Jika aku boleh menukar apapun, asalkan aku bisa bersamanya lagi, aku mau.
******
Seandainya cinta itu bisa dihindari
                Atau, waktu tidak mengizinkannya datang...

“Fy, kamu udah punya pacar?”
“Belum yo”
“Boleh nggak aku jadi pengisi hatimu itu?” Ify nampak tersentak dengan kata-kataku
“Aku sayang kamu Alyssa. Aku serius” anggukan dari Ify ditambah senyuman manisnya membuatku menariknya ke dekapanku. “makasih ya”
******
Melebur bersama sang waktu
Hanya waktu, yang dapat membuat segala sesuatunya

“Yo, kok bengong?” aku tersadar dari lamunanku yang lama.
“hehe. Gimana acha?” tanyaku padanya. Acha merupakan adik Ify. Dulu aku begitu dekat dengan Acha
“Udah SMP sekarang. Dia masih sering nanyain kamu, tapi aku selalu jawab nggak tau, karena aku memang nggak tau kabarmu. Kamu ngilang gitu aja.”
“Hehe.biasa orang penting mikirin ngeara” Ia pun langsung memukul kepalaku dengan tas kecilnya yang ia bawa. Aku tertawa.
“Kamu masih narsis aja” ucapnya sambil memanyunkan bibirnya. Dia benar2 tidak berubah. Semuanya yang awalnya terasa begitu kaku, akhirnya melebur bersama candaan dan waktu. “Yo, pinjem HP-mu dong. Aku mau mengirimkan sms untuk iel”
 “Hmm, setting untuk message-ku agak bermasalah. Daripada sms kamu pending, mending kamu telpon aja dia.” Aku memberikan HP-ku. Aku berbohong. Setting message-ku tak ada yang bermasalah. Letak masalahnya hanyalah diriku yang masih saja menyimpan semua sms darinya. SMS yang  tak pernah ku hapus dan kubiarkan selalu ada di dalam inbox-ku, agar setiap malam atau kapan saja aku rindu padanya, aku dapat membacanya lagi, dan lagi! Bukan karena aku terlalu terikat dengan masa lalu, atau aku tidak mau membuka hatiku pada orang lain. Aku hanya membiarkan sisa hidupku ini berlalu dengan kenangan yang dia berikan padaku. Kenangan yang sebenarnya ingin sekali ku hapus, namun tak pernah berhasil. Aku menatapnya yang sedang mengobrol dengan Gabriel, tunangannya. Aku mengangkat sebelah alisku, menahan rasa sakit yang ada di dadaku. Aku mencoba menarik nafas yang dalam, agar oksigen dalam paru-paruku dapat diganti dengan cepat. Sekali lagi, aku tak beruntung karena ketika aku menghirup udara, yang ku hirup adalah wangi parfum green tea yang ia gunakan. Membuatku ingat pada setiap kenangan yang ia berikan padaku.
*******
Ketika sang waktu tak adil, dan  cinta itu tak bisa dihindari
                Apa yang akan dipilih?
                Tak pernah jatuh cinta
                Atau jatuh cinta, walaupun pasti ada bagian  pahitnya?

“Yo, aku rasa hubungan kita harus berakhir” Aku terdiam menatap matanya mencoba mencari kejujuran di sana. Atau lebih tepatnya aku mencari ketenangan untuk diriku. Aku tak bisa melepaskan dirinya.
“Kita nggak bisa bersatu yel. Banyak ketidak cocokkan antara kita. Semakin kita memaksa untuk menyatukannya, salah satu dari kita malah akan tersakiti”
“Baiklah kalau itu membuatmu bahagia” ucapku

*******
Ketika waktu mengabulkan apa yang kau inginkan
pada saat detik-detik terakhir,
perasaanmu antara bersyukur
 atau menyesal karena itu tidak terjadi lebih awal
                 
“Yo! Kebiasan banget sih bengong” Ternyata ia sudah selesai berbicara dengan tunangannya itu. Ia pun menggeser HP-ku di atas meja. “Makasih ya.” aku Cuma menarik salah satu sudut bibirku membentuk sebuah sneyuman.
“Aku mau minta maaf untuk kejadian yang dulu”
“Yang dulu biarkan saja berlalu”
“Aku menyayangimu yo” ucapnya getir, seolah sedang menahan perasaan yang membuncah dalam hatinya. Aku menatap matanya, matanya mulai mengeluarkan air mata. Aku mengacak rambutnya pelan
“Hei, jangan nangis. Aku tau dulu kamu menyayangiku”
“Sampai sekarang” desisnya pelan, namun masih dapat aku dengar
“Fy” aku memegang tangannya,mengangkat wajahnya yang tertunduk, menatap matanya dalam “aku nggak mau aku jadi menyesal karena mengajakmu ke sini. Kamu udah punya Iel, fy. Dia tunanganmu. Aku yakin kamu pasti menyayanginya, karena ketika hubungan kita berakhir, kamu bersamanya bukan? Berarti kamu memang memiliki perasaan sayang padanya”
“Maafin aku yo. Setelah aku menjalaninya, aku sadar bahwa Cuma kamu yang paling mengerti aku. Aku ingin kita kembali seperti dulu, namun saat itu kamu sudah pergi meninggalkan aku dengan segala rasa bersalah.”
“Pasti dia juga akan mengerti dirimu fy.”
“Aku takut kehilangan kamu yo” Ia pun mengeluarkan air matanya, yang sedari tadi ia tahan. Ku hapus menggunakan jariku
“Aku selalu ada buat kamu kok. Sebagai sahabat
“Kamu masih sayang sama aku?” Aku tersentak mendengarnya. Apa yang harus ku jawab? Iya? Aku tak ingin menghancurkan hubungannya. Tidak? Tapi aku tak ingin berbohong
“Kalau iyapun, kamu nggak bisa apa-apa fy. Satu minggu lagi kamu tungangan fy. Kita juga nggak bisa bersatu”
“Kenapa?”
“bukankah kamu yang bilang bahwa begitu banyak ketidakcocokan antara kita?”
“Tapi aku sadar yo, aku salah”
“Nggak. Kamu nggak salah fy. Aku sadar, kita memang nggak pernah bisa bersatu”
“Kenapa?”
“Aku kanker stadium 3 fy, dan itu nggak bisa menyatukan kita. Aku yakin Gabriel orang terbaik buat kamu. Yang perlu kamu lakukan hanyalah melupakan aku, melupakan rasa bersalahmu, lihat masa depanmu dengan Iel, dan menyayanginya dengan tulus seperti dulu ketika hubungan kita berakhir. Kamu harus tau fy, aku nggak pernah marah sama kamu atas keputusanmu saat itu. Kamu membuatku sadar bahwa hidup ini tak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dulu aku seringkali menyalahkan sang waktu yang mempertemukan aku dan kamu, namun pada akhirnya malah memisahkan aku dan kamu. Walaupun begitu, aku ingin berterima kasih pada waktu karena ia mengenalkanmu padaku, dan mengenalkan arti cinta padaku.” Aku menatap setiap lekuk wajahnya. Nampaknya ia sedikit terperangah dengan apa yang ku katakan.
“tapi kamu saynag aku kan?” Bukannya aku menjawab pertanyaannya, aku malah maju kedepan.
“Selamat sore semuanya. Aku mau nyanyiin sebuah lagu untuk seseorang di sini”
Tak ku sangka kau hadir di hidupku
Kau penuhi semua impian hidupku
Sungguh Tuhan, ku bersyukur padaMu
Kau izinkan aku untuk mencintainya
Kau terbaik yang pernah ku miliki
                Jangan kau pergi dariku
                Namun bila harus berpisah
                Ku ingin kau tau, kaulah yang terbaik
Aku menatap Iel masuk dan menghampirinya. Aku tersenyum pada Ify kemudian mengangguk. Aku dapat melihat tangan mereka bertautan, namun dapat juga ku lihat Ify menghapus air matanya lagi yang jatuh, entah karena mendengarkan lagu yang ku nyanyikan atau karena ia merasa kasihan padaku.
Namun bila harus berpisah
Ku ingin kau tau, ku ingin kau tau
ku ingin kau tau,kaulah yang terbaik
Sakit? Ah, itu sudah pasti ku rasakan. Tapi aku bahagia melihat mereka, karena aku yakin Iel dapat membahagiakan Ify, bukan seperti aku.
Huuuu,ooooo
Aku menghampiri mereka berdua, memasang senyuman paling manis yang bisa ku tunjukkan.
“Congrates ya” ucapku sambil menyalami Iel
“Makasih yo, datang ya minggu depan”
“hmm, sebenarnya aku mau, tapi aku tak bisa seandainya waktu sudah berbicara lain” Aku melihat gurat keheranan di wajah Iel, aku tersenyum “Biarkan Ify yang jelaskan. Aku pulang dulu ya. Sekali lagi selamat buat kalian berdua.” Aku pun berjalan meninggalkan cafe itu, meninggalkan sepasang kekasih, meninggalkan semua kenangan dan masa lalu yang pernah ada. Tak lupa, meninggalkan dunia ini

The end-
 Krik...krik...krik...
Cerpen gaje yang endingnya nggak banget. Ngegantung, alur nggak jelas, pendek banget, pokoknya nggaaaak bangeeeet. Tapi makasih buat yang  udah mau membuang waktunya untuk membaca cerpen aneh ini. Makasih banget. J

Jumat, 03 Juni 2011

Always have a choice - part 7

“Mari kita panggilkan LIEBLINGS BAND..” ucap seorang MC, membuat semua orang saat itu bertepuk tangan riuh.Hari ini memang hari ulang tahun sekolah mereka.
“Selamat siang semuanya” sapa Iel sebagai vokalis seperti biasanya “Siang ini, gue bakal bawa lagu baru dari Lieblings yang diciptain Rio. Kita harap kalian pada suka” Iel pun mulai menyanyikan lagu itu. Karena hanya Iel dan Ify saja yan berperan, maka anggota band Lieblings yang lain dengan setia menunggu di backstage. Alvin pun menekan beberapa tombol di HP-nya.
“Halo.”
“Di mana yo?”
“Gue nggak datang ya vin.”
“Kenapa sih? Jangan bawa masalah pribadi. Profesional dong yo”
“Gue lagi nggak enak badan vin. Lagian kalo gue nggak ada, masih ada lo kan yang gantiin gue.”
“Bener?”
“Iya vin, gue sakit. Masa lo nggak percaya sama gue”
“Ya udah deh kalo gitu. Take care ya.” Alvin pun mematikan sambungan telpon itu.

Rio mendesah, kemudian membaringkan tubuhnya. Ia memang berbohong pada Alvin. Ia memang sedang tidak sakit. Ia hanya ingin membuat segalanya seperti semula. Mengembalikan perasaannya seperti dulu. Ia hanya tak mampu melihat Iel bersama Ify di atas panggung. Ia memang laki-laki lemah. Ia hanyalah manusia biasa yang merasakan jatuh cinta. Cinta tak pernah salah. Yang salah hanyalah waktu, serta orang yang ia cintai. Rio mulai memejamkan matanya, membiatkan waktu berlalu dan menghapus sedikit masalahnya. Atau mungkin menghapus perasaannya

*****
Keesokan harinya dengan langkah gontai, Rio berjalan ke ruang latihan. Ia sama sekali tak mengerti mengapa Alvin menyuruh mereka datang sepagi ini. Ia menarik nafasnya sejenak, kemudian membuka pintu perlahan
“Akhirnya lo datang juga yo” ujar Cakka membuat Rio hanya tersenyum tipis
“Karena semua udah pada ngumpul, gue evaluasi aja ya buat semalam” ujar Alvin. Inilah yang sering mereka lakukan jika mereka baru saja selesai pentas. “Oke, semalam keren banget. Thanks fy, yel yang mau tampil buat lagu perdana kita. Makasih juga buat Cakka, Ray yang mau tampil di lagu kedua dan ketiga, & buat Rio walaupun lo nggak datang kemarin, tapi makasih banget buat lagu yang lo ciptain. Kemarin, banyak banget yang suka sama lagu ciptaan lo itu” ujar Alvin panjang lebar. Semuanya bertepuk tangan sambil tersenyum, kecuali Ify yang menyenderkan tubuhnya ke dinding agar ia tak jatuh
“Kamu kenapa?” tanya Iel lembut membuat semua menoleh pada mereka berdua
“Aku nggak apa2” ucap Ify pelan
“Kamu sakit?” Ify hanya mengangguk pelan “Jangan bandel. Aku udah bilang kan jaga kesehatan.” Ucap Iel sambil menyentuh pipi Ify lembut
“Sejak kapan kalian aku-kamu?” tanya Cakka heran. Iel pun menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali nggak gatal
“Semalam” jawab Iel membuat semuanya kembali mengerutkan dahi “Jadi gini, kemarin waktu selesai konser, gue nembak Ify, dan ternyata dia nerima gue.”
“Pejeeeeeeeeee” teriak semuanya kompak. Rio hanya terdiam. Bukankah ini yang ia inginkan? Bukankah ini akan memudahkan dirinya untuk melewati segalanya? Ia mencoba menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan, mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Tak bisa dipungkiri, jika ia tidak merasakan sakit di hatinya. Alvin menepuk-nepuk bahu Rio membuat Rio mengalihkan pandangannya pada Alvin. Alvin hanya menatapnya, seolah ingin mengatakan ‘yang sabar ya yo’. Rio hanya tersenyum, yang terlihat begitu miris di mata Alvin.
“Selamat ya bro. Jangan lupa PJ-nya” ucap Rio menyalami mereka beruda dan tersenyum dengan tulus. “Gue duluan ya” ujar Rio kemudian keluar meninggalkan ruangan mereka menuju taman.

@taman
“Zahra?”
“Hei yo.”
“kok lo di sini? Bukannya masuk kelas?”
“Lo sendiri ngapain di sini?”
“Gue baru selesai evaluasi sama yang lain, terus mau ngadem dulu di sini, sebelum masuk kelas” Zahra pun hanya meng’o’kan mulutnya
“Udah tau belum, kalo Iel udah jadian sama Ify?” tanya Zahra. Rio hanya mengangguk. Mengapa harus dibahas lagi topik ini. Apa masih kurang cukup di ruangan tadi?
“Kok lo tau?”
“Iel nelpon gue semalam, terus dia cerita deh” Ucap zahra sambil menerawang.
“Cemburu?”
“Hah?”
“Lo suka Iel?”
“Nggak yo”
“Yakin?” tanya Rio memastikan. Ia memang melihat pandangan sayu dari mata Zahra. Walaupun Zahra berusaha untuk bersikap ceria, namun mata nggak pernah bisa bohong.
“Yang penting dia bahagia”
“Cieeee, zahra. Jadi bener kan apa yang gue bilang?”
“Udah deh yo.” Ucap Zahra yang udah salah tingkah.
“Hahaha. Muka lo merah loh..Udah ah, ke kelas aja.” Ucap Rio dan bangkit berdiri. Namun Zahra masih mematung dan tak bergerak “Ayo..Nggak usah dipikirin. Mending lo jatuh cinta aja sama gue. Gue masih kosong kok” ucap Rio sambil menarik tangan Zahra, membuat Zahra mau tak mau, tersenyum

@kantin
Tak terasa waktu istirahat pun telah tiba. Zahra, Agni dan Via + semua anak Lieblings kecuali Iel sudah berkumpul di kantin.
“Dih, mana sih Iel. Katanya mau PJ, tapi malah nggak nongol-nongol” keluh Rio
“Iya nih, gue kan udah lapar banget” ucap Ray sambil memegang perutnya
“Kalo nggak ada Iel, minta aja ke bini-nya” ucap Cakka sambil melirik Ify.
“Apa sih? Kok ke gue? Kan yang janji PJ ka Iel. Lagian nggak bisa PJ sekarang deh, soalnya ka Iel masih di kelas. Masih ujian”
“Jiaah, bayar sendiri-sendiri dong” keluh Zahra.
“Udah ah, pesen aja yuk” ajak Alvin dan diikuti yang lain. Ify berdiri dari tempat duduknya. Sepertinya kesehatannya masih belum pulih. Ify memegang meja kantin, untuk menopang tubuhnya namun tetap saja tak cukup kuat menahan tubuhnya.
*****
Ify memegang kepalanya yang masih berdenyut-denyut.
“Udah bangun?”
Ketika mendengar suara itu, Ify mencoba untuk duduk. Jantungnya berdebar cepat. Entah apa yang ia rasakan
“Hobby banget sih sakit atau pingsan begini.”
“Makasih ya ka udah nolongin gue ”
“Itu salah satu kewajiban gue sebagai kakak kan?” Ify terdiam mencoba bersikap biasa saja ketika mendengar pernyataan itu. Tapi sepintar apapun ia mencoba, tetap saja rasa sakit itu tetap terasa di hatinya. Ify hanya diam. Ia takut untuk berbicara. Ia takut kalau ia berbicara, ia malah semakin takut melepaskan Rio. “Lo udah baikan?” Ify hanya mengangguk lemah
“Lo nggak makan ya? Ckckck, jaga kesehatan dong fy. Lo ngebuat kita semua khawatir. ”
“Btw, lo sebagai adik gue, cerita dong gimana penembakan Iel ke lo” ucap Rio dengan sengaja menekankan kata adik. Membuat Ify lagi dan lagi mencoba untuk kuat.
FLASHBACK
Malam itu, tugas Iel untuk mengantarkan Ify kembali ke rumahnya. Namun, bukan arah rumah Ify tapi ke arah yang berlawanan
“Mau ke mana ka?”
“ada yang mau gue omongin. Lo tenang aja, nggak bakal gue apa2in kok.” Ucap Iel sambil tersenyum.
“Silahkan turun tuan putri..” kata Iel sambil membuka pintu mobilnya, ketika sudah sampai di tempat tujuan Iel mengajak Via ke sebuah lapangan berumput.
“Ngapain ke sini ka?”
“Udah lo ikut aja. Ke sana yuk.” Ajak Iel dan dengan sigap menarik lengan Ify ke tempat yang ia tunjukkan tadi. Ify benar2 speechless. Ia serasa lagi di Belanda. Begitu banyak burung merpati putih yang beterbangan ke sana kemari. Dia dan Iel pun duduk di salah satu bangku yang ada di dekat burung2 itu.
“Lo tau nggak kenapa merpati disebut sabagi lambang kesetiaan?” tanya Iel. Ify yang dari tadi memandang merpati pun mengalihkan pandangannya ke arah Iel.  Ia menggeleng. “ Pertama, merpati adalah burung yang nggak pernah mendua hati. Coba lo perhatiin, apakah ada burung merpati yang suka ganti2 pasangan? Nggak kan? Yang kedua merpati adalah burung yang tahu kemana dia harus pulang. Walaupun burung merpati terbang jauh, dia nggak pernah tersesat untuk pulang. Ketiga, merpati  tahu bagaimana pentingnya bekerja sama. Coba deh lo perhatiin ketika mereka bekerja sama membuat sarang. Sang jantan dan betina saling silih berganti membawa ranting untuk sarang anak2 mereka. apabila sang betina mengerami, sang jantan berjaga di luar kandang dan apabila sang betina kelelahan, sang jantan ganti mengerami. Pernahkah kita melihat mereka saling melempar pekerjaan? Jawabannya nggak !” ujar Iel panjang lebar. Ify hanya dapat terkagum-kagum dengan apa yang diketahui oleh Iel
“Tunggu bntar ya.” Iel pun pergi meninggalkan Via yang masih asyik memandangi merpati2 yang terbang. Ia memandang merpati yang nggak pernah terpisahkan itu
“fy..” panggil Iel.
“Ka Iel??” Ify benar2 bingung. Ia melihat Iel membawa 2 ekor merpati putih di dalam sangkar.
“fy, hmm mungkin ini emang terlalu cepat bagi lo. Tapi gue Cuma ngikutin perasaan gue aja. Gue sayang banget  sama lo. Gue nggak bisa ngasih sesuatu yang romantis atau lainnya. Gue Cuma bisa jadi diri gue sendiri. Lo mau nggak jadi pacar gue?” tanya Iel yang sontak membuat wajah Ify kaget. “Kalo loe terima gue, lo bilang ke gue supaya kita lepasi merpati ini sama-sama. Tapi kalo lo tolak gue, lo lepasin aja merpati yang ada di lo, tanpa bilang apa-apa ke gue”
Ify terdiam. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Apakah ia harus menerima Iel? Apakah dengan demikian, Iel dapat membuat dirinya lupa pada Rio? Bukankah cinta dapat tumbuh dengan berjalannya waktu? Ify menggigit bibirnya, ntah apa yang harus ia lakukan. Ify menarik nafasnya dalam-dalam, menoleh pada Iel
“Kita lepasin sama2 ya. 1...2...3” ucap Ify dan melepaskan burung merpati yang ada di tangannya. Seolah dengan demikian ia juga mengirimkan harapannya untuk melupakan Rio dan juga melepaskan segala masalahnya. Iel masih terpana dengan jawaban Ify. Namun akhirnya ia tersenyum bahagia
“Thank’s fy.” Ucap Iel sambil memeluk Ify. Apakah ini adalah keputusan yang benar bagi Ify?
FLASHBACK END
“Giling, romantis banget sih Iel” ucap Rio sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia sahabat gue. Jangan pernah sakitin dia. Lo udah memilih, dan gue harap lo bener2 sayang sama dia”
“Ka..” lirih Ify menatap Rio dalam, sambil memegang tangan Rio. Rio terdiam, kemudian mengalihkan pandangannya “Gue nggak bisa ka. Gue udah nyoba.”
“Belum nyampe sehari lo udah nyerah. Ayolah fy, lo pasti bisa sayang sama dia. Gue yakin itu, dek”  ucap Rio dan melepaskan genggaman Ify.
“ Gue nggak tau bisa bertahan berapa lama. Karena, gue tetap aja sayang sama...”
“Sayang sama siapa?”
“Eh iyel. Nih, si Ify, dia sayang banget sama lo” ucap Rio membuat Iel tersenyum manis pada Ify
“Kamu udah nggak apa-apa say?” tanya gabriel kemudian mendekat ke arah Ify. Rio yang masih di dalam ruangan itu, membelakangi Iel dan Ify, hanya bisa terdiam. Ia mengepal tangannya kuat, memejamkan matanya, mencoba untuk menahan perasaannya. Mencoba menahan gejolak emosi yang ada dalam dirinya. Mencoba menahan dirinya agar tidak memukul Iel. Mencoba menahan dirinya agar tidak menatap Ify. Akhirnya, Rio pun memutuskan keluar dari UKS. Ia yakin, Iel lah yang dibutuhkan Ify. Bukan dirinya. Berbeda dengan Rio, Ify mengharapkan 1 hal. Ia berharap Rio berbalik memandangnya. Ify berharap bahwa Rio tetap ada di dalam ruangan itu. Namun, yang dilakukan Rio adalah pergi. Membuat Ify mendesah
“Kamu marah sama aku?” tanya Iel lagi.
“Kenapa harus marah? Lagian kamu kan ujian tadi”
“Soalnya, bukan aku yang nemenin waktu kamu pingsan tadi. Bukan aku juga yang ngebawa kamu ke sini”
“Kamu bukan pembantuku, kamu kan pacarku” ucap Ify yang terasa kelu di lidahnya
“Makasih fy. Sekarang gimana keadaan kamu?”
“Udah baikan kok”
“Aku anterin yah” Ify hanya mengangguk dan tersenyum. Ntah mengapa ia merasa tidak adil pada Iel. Ia merasa telah menyakiti Iel dengan jawabannya kemarin? Menyesal? Bukankah semuanya sudah terjadi dan waktu tak pernah bisa diputar kembali? Apa yang harus ia lakukan? Hanya 1. Membuka hatinya pada Iel, walaupun ia sendiri tau bahwa Rio telah menempati seluruh hatinya.

Bersambung....
Gimana keadaan selanjutnya? Apakah Ify benar2 akan membuka hatinya pada Iel? Bagaimana dengan Rio? apakah ia juga akan membuka hatinya pada orang lain?