Aku menyeruput jus strawberry yang dari tadi ku abaikan. Hanya sekedar mengalihkan pandangan bersalahku pada orang yang duduk di hadapanku sekarang.
“Maaf” akhirnya hanya kata itu yang dapat kuucap. Aku pun memberanikan diri menatap lelaki tegap yang duduk di hadapanku itu
“Nggak apa2 kok” jawabnya sambil tersenyum, walaupun aku bisa melihat jelas gurat kekecewaan di wajahnya. Dia pun langsung beranjak pergi meninggalkanku. Aku mendesah pelan. Kutahan sekuat mungkin agar air mata tak jatuh. Bukan air mata kesedihan, namun air mata rasa bersalah. Cakka, salah satu cowok most wanted di sekolahku. Cowok yang beberapa menit lalu kutolak cintanya. Dan cowok kelima yang aku tolak dalam bulan ini. Aku langsung mengambil tasku dan pergi ke danau. Tempat yang sangat ku gemari, kalau ada masalah. Tempat inilah yang memisahkan aku dengannya. Aku duduk di atas rerumputan hijau, memandang lurus ke depan.
###FLASHBACK
“Amerika itu jauh ya yel?” tanyaku polos waktu umurku masih 9 tahun.
“Jauuuuh bangeet..”
“Kalo kamu ke sana, kita nggak bisa main sama2 dong?”
“kan masih ada yang lain vi.”
“Iel, aku sayang kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu..” ucapku dan mataku mulai berkaca-kaca
“Aku juga sayang kamu vi. Kamu jangan sedih. Tunggu aku balik ya, kita akan bersama nanti..kamu janji mau nunggu aku?” Aku pun mengangguk dan mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya.
#####FLASHBACK END
Aku kembali tersenyum mengingat teman baikku yang mungkin merupakan cinta pertamaku juga. Gabriel Stevent Damanik
‘7 tahun yell. Sudah 7 tahun aku nunggu kamu di sini. Tapi kamu sama sekali nggak kembali. Aku tolak semuanya, ku tutup hatiku rapat2, hanya demi menjaga janji kita dulu.’ Batinku. Apakah itu bisa dikatakan sebagai sebuah janji? Apakah jika seorang anak kecil sekalipun yang tak mengerti apa2, mengatakan kata janji maka itu memang harus ditepati? Atau itu hanya sebuah ilusi semata dan ucapan yang tak dimengerti?
“Hei!” sapa seseorang. Tanpa melihatnyapun aku sudah tau siapa yang menyapaku. Aku hanya tersenyum dan tetap memandangi danau, menikmati semilir angin yang membelai pipiku. Orang itupun duduk di sampingku. Sahabatku sejak SMP. Alvin, ia selalu ada di sampingku, menghiburku waktu aku sedih, dan akan tertawa bersamaku ketika aku bahagia. Aku tak tau bagaimana hidupku nanti tanpanya. Selain Alvin, aku juga memiliki sahabat bernama Dea. Kami bertiga memang sekelas sejak SMP. Alvin dan Dea tau semua ceritaku, bahkan tentang Iel sekalipun. Akupun tau cerita tentang kehidupan mereka. Kami bertiga sudah seperti kakak adik yang tak terpisahkan.
“udah berapa banyak cowok yang kamu tolak?” aku terkekeh mendengar sindiran dari sahabatku itu.
“emang aku salah vin, nolak mereka semua?”
“Kalo emang nggak sesuai dengan hatimu, nggak apa2 kok.” Jawabnya diplomatis, membuatku kembali tersenyum tipis.
“Vin, aku bodoh ya? Apa aku salah sayang sama dia?”
“Kamu mau jawaban jujur atau jawaban bohong dariku?”
“Jujurlah”
“Bodoh banget.” Aku langsung menggembungkan pipiku tanda aku sebal.
“Hahaha. Kan kamu yang minta vi…”
“Apiiiiin…..”
“Piiiiiaaaa….”
“Serius dikit dong…”
“Iya deh, maaf..maaf..” ucapnya tulus tapi masih menahan tawa melihat ekspresiku. “Mencintai seseorang itu nggak pernah salah vi. Nggak pernah. Yang salah adalah ketika kita nggak lagi bisa ngelihat cinta yang sebenarnya. Ketika kita hanya melukai dan menyakiti diri kita sendiri ataupun orang lain, kemudian kita mengatasnamakan itu cinta. Kesetiaan kamu sama Gabriel, nggak pernah salah. Tapi kamu nunggu dia sebagai siapa? Seorang yang menempati hatimu, layaknya cinta pertama atau hanya sebagai seorang sahabat? ”
“cinta pertama” jawabku mantap tanpa ada keraguan sama sekali. Alvin pun hanya tersenyum dan mengacak rambutku pelan. Kami berdua kembali dalam diam, menatapi senja langit dan burung2 yang bebas beterbangan di atas sana.
“Udah sore. Aku antar pulang” Aku pun mengangguk dan menerima uluran tangan Alvin. Alvin menggenggam tanganku erat. Aku senang saat2 seperti ini.
*****
Aku duduk di pinggir lapangan. Tak bosan-bosannya aku menatap Alvin yang sedang berlari mendribble bola. Akhir2 ini, aku merasakan hal yang berbeda kalau aku bersama dengannya. Setiap gerak-geriknya pun terpatri dengan sangat sempurna di hatiku. Aku tak tau pasti bagaimana perasaan Alvin sebenarnya. Ia sering membuatku ingin percaya bahwa ia memiliki prasaan yang sama denganku. Namun di lain sisi, dia akan menyadarkan aku akan kenyataan tentang Iel. Satu yang pasti, ia selalu membuatku merasa nyaman dan istimewa. Dia membuat ku merasa sempurna dengan adanya dirinya. Tiap malam aku sering memikirkannya. Bukan sebagai seorang sahabat tapi sebagai seorang….ah, lupakan saja. Dia sering mengirimkan sms singkat yang bisa membuatku terbang ke awan2. Misalnya saja ‘kamu tidur ya vi. Love you!’ Jujur saja, ketika pertama kali aku menerima sms situ, jantungku berdegup sangat cepat, hingga mataku tak mau terpejam. Sms2 seperti itu sudah sering kali dikirimkan oleh Alvin untukku.Tapi sekali lagi, aku tak tau mengapa, tak sekalipun aq merasa bosan atau merasa itu hanyalah sebuah rayuan gombal.
“Maaf ya vi, kamu jadi nungguin aku latihan” ujarnya yang tiba2 berada di hadapanku
“Nggak apa2 kok Vin, lagian aku juga suka ngelihat kamu main.” Balasku sambil tersenyum. Alvin pun mengacak rambutku pelan. “Vin, itu kamu keringetan” ucapku. Aku mengeluarkan tissue dan kuusap keringatnya. Ku tatap matanya yang selalu bisa membuatku meleleh. Namun sedetik kemudian, dia membuang muka. Aku hanya tersenyum. Aku senang jika membuat dirinya salah tingkah, karena itu berarti dia memang sayang padaku.
“Maaf ya vi, kamu jadi nungguin aku latihan” ujarnya yang tiba2 berada di hadapanku
“Nggak apa2 kok Vin, lagian aku juga suka ngelihat kamu main.” Balasku sambil tersenyum. Alvin pun mengacak rambutku pelan. “Vin, itu kamu keringetan” ucapku. Aku mengeluarkan tissue dan kuusap keringatnya. Ku tatap matanya yang selalu bisa membuatku meleleh. Namun sedetik kemudian, dia membuang muka. Aku hanya tersenyum. Aku senang jika membuat dirinya salah tingkah, karena itu berarti dia memang sayang padaku.
“Makasih!” ucapnya sambil tersenyum, membuat jantungku berdegup lebih cepat. “Kamu mau ke mana setelah ini?”
“Ke kedai es krim depan aja yuk.” Alvin pun mengangguk dan menggandeng tanganku pergi.
Sesampainya di kedai es krim, Alvin pun langsung mencari tempat duduk di pojokan, di mana agak jauh dari keramaian.
“Mau pesan apa mas?”
“Chocobanana split 1”
“Strawberry sweetheart 1”
“Ke kedai es krim depan aja yuk.” Alvin pun mengangguk dan menggandeng tanganku pergi.
Sesampainya di kedai es krim, Alvin pun langsung mencari tempat duduk di pojokan, di mana agak jauh dari keramaian.
“Mau pesan apa mas?”
“Chocobanana split 1”
“Strawberry sweetheart 1”
Pelayan itu pun pergi meninggalkan kami berdua dalam diam.
“Vin, aku mau ngomong sama kamu.” Alvin yang tadinya menatap ke tempat lain langsung menatapku. Aku mendesah pelan, mencoba mengumpulkan seluruh keberanian yang ada di dalam diriku.
“Vin, aku mau ngomong sama kamu.” Alvin yang tadinya menatap ke tempat lain langsung menatapku. Aku mendesah pelan, mencoba mengumpulkan seluruh keberanian yang ada di dalam diriku.
“Vin, sebenarnya…gimana hubungan kita saat ini?” Aku mendengar Alvin terkekeh mendengar pertanyaan bodohku itu. Aku pun merutuki diriku yang berani menanyakan hal seperti itu. Aku menunduk, tak berani menatap wajahnya. Aku malu. Alvin pun mengangkat wajahku, agar aku bisa menatapnya.
“Kamu maunya kayak gimana vi? Apa kamu udah siap ngelepasin Gabriel?”
“A..Aku..”
“Kamu sendiri nggak yakin kan vi? Jadi bukankah seperti ini akan lebih baik?”
“Tapi Vin, apa kamu nggak mau hubungan kita lebih jelas. Bukan menggantung seperti ini?”
“Jawabannya ada di kamu vi.”
“Kamu sayang nggak sih vin, sama aku?”
“Apa itu masih perlu dipertanyakan?” Tanya Alvin balik yang sama sekali tak menjawab
pertanyaanku. Aku diam. Dia pun diam. Kami berdua sibuk dengan pikiran masing2. Es krim yang
kami pesan tadi pun datang. Tak ada dari kami berdua yang menyentuh es krim itu. Apakah cinta kita akan seperti es krim ini? Akan meleleh pada akhirnya dan terhapuskan begitu saja?
“Aku nggak mau, nantinya kamu menyesal ketika Iel datang. Aku nggak mau nantinya kamu merasa bersalah, dan merasa terjebak dengan hatimu sendiri vi.” Sahutnya tiba2 membuatku menatap wajahnya, menikmati setiap lekukan wajahnya yang indah. Aku meresapi apa yang ia katakan, tapi bukankah dia yang telah menciptakan suasana itu?
“Gimana kalau kita pisah aja untuk sementara waktu?” usulku yang membuat wajah Alvin
nampak tak rela
“Pisah? Untuk apa? Agar perasaan bersalah kamu nggak semakin besar?” Tanya Alvin seolah menyudutkanku untuk situasi ini.
“Agar, kita bisa mengontrol perasaan kita masing2.”
“Nggak semudah itu Vi, aku nggak sanggup.” Sahut Alvin.
“Sampai kapan Vin, sampai kita sama2 sanggup? Nggak pernah. Nggak pernah ada kata
sanggup untuk berpisah”
“Setidaknya, kasih aku waktu untuk membuat kenangan2 indah, sebelum Iel datang dan merebutmu dari sisiku. Something for remember, like a memory.”
“Bukankah semakin lama, semakin sulit kita untuk saling melupakan?”
“Nggak untuk yang satu ini Vi.” Aku walaupun ragu, namun akhirnya aku mengangguk setuju.
“Okay. Something for remember, like a memory.” Sahutku mengulang perkataannya. Aku tau, ini salah. Dan kami berdua memulai sesuatu yang salah.
“Kamu maunya kayak gimana vi? Apa kamu udah siap ngelepasin Gabriel?”
“A..Aku..”
“Kamu sendiri nggak yakin kan vi? Jadi bukankah seperti ini akan lebih baik?”
“Tapi Vin, apa kamu nggak mau hubungan kita lebih jelas. Bukan menggantung seperti ini?”
“Jawabannya ada di kamu vi.”
“Kamu sayang nggak sih vin, sama aku?”
“Apa itu masih perlu dipertanyakan?” Tanya Alvin balik yang sama sekali tak menjawab
pertanyaanku. Aku diam. Dia pun diam. Kami berdua sibuk dengan pikiran masing2. Es krim yang
kami pesan tadi pun datang. Tak ada dari kami berdua yang menyentuh es krim itu. Apakah cinta kita akan seperti es krim ini? Akan meleleh pada akhirnya dan terhapuskan begitu saja?
“Aku nggak mau, nantinya kamu menyesal ketika Iel datang. Aku nggak mau nantinya kamu merasa bersalah, dan merasa terjebak dengan hatimu sendiri vi.” Sahutnya tiba2 membuatku menatap wajahnya, menikmati setiap lekukan wajahnya yang indah. Aku meresapi apa yang ia katakan, tapi bukankah dia yang telah menciptakan suasana itu?
“Gimana kalau kita pisah aja untuk sementara waktu?” usulku yang membuat wajah Alvin
nampak tak rela
“Pisah? Untuk apa? Agar perasaan bersalah kamu nggak semakin besar?” Tanya Alvin seolah menyudutkanku untuk situasi ini.
“Agar, kita bisa mengontrol perasaan kita masing2.”
“Nggak semudah itu Vi, aku nggak sanggup.” Sahut Alvin.
“Sampai kapan Vin, sampai kita sama2 sanggup? Nggak pernah. Nggak pernah ada kata
sanggup untuk berpisah”
“Setidaknya, kasih aku waktu untuk membuat kenangan2 indah, sebelum Iel datang dan merebutmu dari sisiku. Something for remember, like a memory.”
“Bukankah semakin lama, semakin sulit kita untuk saling melupakan?”
“Nggak untuk yang satu ini Vi.” Aku walaupun ragu, namun akhirnya aku mengangguk setuju.
“Okay. Something for remember, like a memory.” Sahutku mengulang perkataannya. Aku tau, ini salah. Dan kami berdua memulai sesuatu yang salah.
*****
2 bulan kemudian...
Aku tak mnyangka sama sekali bahwa waktu akan berlalu begitu cepat, dan aku tak menyangka bahwa rasa sayangku pada dia semakin kuat. Semakin kuat dia mengenggam tanganku, semakin takut ku lepaskn genggamanny. Dua bulan waktu yang kami lewati bersama, untuk menciptakan kenangan yang tak akan dilupakan. Senyumku seolah tak ingin pergi dari wajahku. Aku duduk, menopang dagu sambil tetap asyik menatap punggung Alvin yang sedang berdiri di depan menuliskan beberapa pengumuman.
Drrt...drrt...
Aku merogoh HP-ku dan membaca pesan singkat yang baru saja masuk
From : Alvin ‘my prince charming’
pulang, kita jalan bareng ya. Can’t forget you..Luv u so much, via..^^
pulang, kita jalan bareng ya. Can’t forget you..Luv u so much, via..^^
Aku tersenyum bahagia. Ku tatap Alvin yang masih berdiri di depan kelas. Ia mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum manis padaku.
"sebenarnya gimana hubunganmu dengan Alvin?" tanya Dea membuatku sadar dari kebahagian sesaatku itu.
“maksudmu?”
“Udahlah vi, nggak usah nutupinnya dari aku. Aku tuh udah sekelas sama kalian berdua sejak SMP. Mata kalian berdua tuh saling bicara, nggak pernah bisa bohong.”
"Aku nggak tau de. Aku juga bingung. Yang aku tau hanyalah aku merasa nyaman bersamanya.”
"Gimana dengan Iel?"
Aku terdiam. Gimana dengan Iel? Aku sama sekali tak pernah melupakannya. Aku pun selalu menyayanginya. Tapi apa Alvin benar2 berhasil menggeser posisi Iel di hatiku? Dulu, tak pernah ku lewatkn seharipun tanpa memikirkan iel atau hanya sekedar memandang fotony. Tapi sekarang, aku benar2 lupa dengan Iel. Nggak. Aku bukan melupakannya, aku hanya sedikit mengabaikannya. Aku menggeleng lemah menjawab pertanyaan Dea tadi
"Aku nggak tau de. Aku juga bingung. Yang aku tau hanyalah aku merasa nyaman bersamanya.”
"Gimana dengan Iel?"
Aku terdiam. Gimana dengan Iel? Aku sama sekali tak pernah melupakannya. Aku pun selalu menyayanginya. Tapi apa Alvin benar2 berhasil menggeser posisi Iel di hatiku? Dulu, tak pernah ku lewatkn seharipun tanpa memikirkan iel atau hanya sekedar memandang fotony. Tapi sekarang, aku benar2 lupa dengan Iel. Nggak. Aku bukan melupakannya, aku hanya sedikit mengabaikannya. Aku menggeleng lemah menjawab pertanyaan Dea tadi
“Love make time pass away, and time make love pass away. ..” Aku mengernyitkan keningku tanda aku tak mengerti “Cinta kamu sama Alvin emang ngebuat waktu berlalu dengan cepat, dan waktu itupula yang membuat cintamu pada Iel terhapuskan”
Aku meresapi kata2 yang Dea ucapkan padaku. Benarkah cintaku pada Iel terhapuskan oleh waktu? Semudah itukah perasaanku terhapuskan?
Sehari itu pun aku sama sekali tak berkonsentrasi..pikiranku kacau..Aku berjalan ke arah parkiran. Alvin memintaku untuk menunggunya di sana. Bukan hal baru jika aku pulang bersama dengan Alvin ataupun datang bersama dengannya. Bukan hal baru juga jika aku selalu menunggunya hingga selesai ekskul basket ataupun ia menungguku hingga selesai ekskul musik. Aku berdiri mengetuk-ngetukan jariku di pintu mobilnya. Inilah kebiasaanku kalau aku bosan menunggu. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, berharap menemukan adegan yang lucu ataupun apa saja asalkan tidak membuatku bosan menunggu seperti ini. Tiba2 serangkaian bunga melati ada di hadapanku. Itu adalah bunga kesukaanku. Aku tak suka mawar yg t'lalu romantis. Aku lebih suka melati yg harum mewangi, namun lembut tak sperti mawar..
"makasih ya vin"
"vin? Siapa itu?"
aq yg tadinya sedang menikmati harum bunga, langsung tercekat. Aq m'gigit sudut bibirku, dan ku angkat wajahku perlahan. Ku temukan seorang lelaki tampan yang lebih tinggi dari diriku, dengan wajah khas Indonesia, dan senyuman manisnya yang tak pernah kulupakan.
"hei vi, masih ingat aku kan?"
"ma..mana mungkin aq lupa sama kamu yel"
"Syukurlah kalo kamu masih ingat. Dari tadi aku takut kamu udah lupa sama aku. Kamu nggak mau meluk aku?" walau ragu, namun aku tetap memeluknya. Andai saja iel datang 2 tahun yang lalu dan bukan saat ini, mungkin aku akan loncat2 kegirangan. Seandainy iel bilang kapan dia akan datang, mungkin aku akan benar2 menjaga perasaanku..seandainy dan seandainya. Yang bisa ku lakukan hanyalah berandai dan bermimpi.
"via?" aq lngsung mlepaskn pelukanku.
"iel kenalin ini alvin sahabatku sejak smp, alvin ini iel"
"iel"
"alvin"
Setelah perkenalan singkat yang dingin itu terjadi, Iel menggenggam tanganku dan mencium pipiku, yang sukses membuat semburat merah muncul di pipiku. Kulihat alvin membuang muka, seolah tak tahan dengan adegan yang ada di hadapannya saat ini.
"Jalan yuk Vi. Aku udah kangen banget sama kamu.”
"Tapi aku..."
"vi, Shilla sms-in aku minta ditemenin. Kayaknya aku nggak jadi nemenin kamu deh"
"Emang kamu mau ke mana vi? Biar aku temenin kamu aja.” Aku menatap Alvin tak percaya. Apa seperti ini yang ia inginkan? Apa iya, Shilla yang gosipnya menyukai Alvin, meng-smsnya? Atau ini hanya salah satu trik membuatku cemburu? Aku sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Alvin
"vin? Siapa itu?"
aq yg tadinya sedang menikmati harum bunga, langsung tercekat. Aq m'gigit sudut bibirku, dan ku angkat wajahku perlahan. Ku temukan seorang lelaki tampan yang lebih tinggi dari diriku, dengan wajah khas Indonesia, dan senyuman manisnya yang tak pernah kulupakan.
"hei vi, masih ingat aku kan?"
"ma..mana mungkin aq lupa sama kamu yel"
"Syukurlah kalo kamu masih ingat. Dari tadi aku takut kamu udah lupa sama aku. Kamu nggak mau meluk aku?" walau ragu, namun aku tetap memeluknya. Andai saja iel datang 2 tahun yang lalu dan bukan saat ini, mungkin aku akan loncat2 kegirangan. Seandainy iel bilang kapan dia akan datang, mungkin aku akan benar2 menjaga perasaanku..seandainy dan seandainya. Yang bisa ku lakukan hanyalah berandai dan bermimpi.
"via?" aq lngsung mlepaskn pelukanku.
"iel kenalin ini alvin sahabatku sejak smp, alvin ini iel"
"iel"
"alvin"
Setelah perkenalan singkat yang dingin itu terjadi, Iel menggenggam tanganku dan mencium pipiku, yang sukses membuat semburat merah muncul di pipiku. Kulihat alvin membuang muka, seolah tak tahan dengan adegan yang ada di hadapannya saat ini.
"Jalan yuk Vi. Aku udah kangen banget sama kamu.”
"Tapi aku..."
"vi, Shilla sms-in aku minta ditemenin. Kayaknya aku nggak jadi nemenin kamu deh"
"Emang kamu mau ke mana vi? Biar aku temenin kamu aja.” Aku menatap Alvin tak percaya. Apa seperti ini yang ia inginkan? Apa iya, Shilla yang gosipnya menyukai Alvin, meng-smsnya? Atau ini hanya salah satu trik membuatku cemburu? Aku sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Alvin
“Ya udah kalo gitu, kita dluan ya vin" iel yang masih mengenggam tangan kiriku pun lngsng menarikku, membuatku mengikuti langkahnya. Tapi ku rasakan tangan kananku ditahan oleh Alvin. Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. Aku sendiri tak tau mengapa aku ingin menangis saat itu. Ia pun melepaskan genggamannya perlahan tapi pasti. Aku terdiam. Bukankah ini yang ku inginkan, agar iel kembali?? Tp mengapa aku merasa kehilangan sesuatu?
*****
Aku diajak Iel ke tempat kita sering bermain dulu. Di danau, tempat aku sering menumpahkan segala masalahku. Aku duduk di sampingnya, di bawah pohon besar yang dekat sama danau. Ku tatap wajah yang tak ku lihat 7 tahun terakhir. Ku lihat senyumnya yang dulu selalu ada untukku. Yang bisa ku katakan saat ini hanyalah, dia bertambah keren, lebih dewasa dari yang sebelumnya. Namun satu yang tak berubah darinya, rasa sayangnya padaku. Aku bisa merasakannya. Aku bisa mengetahuinya dari tatapan matanya padaku. Tatapan yang sama dan tak pernah berubah dari 7 tahun lalu. Tapi apakah tatapanku juga masih sama? Apakah rasa sayangku masih sama padanya seperti dulu?
“Hei vi. Kok ngeliatin aku terus sih? Tambah cakep ya?”
“Iya” jawabku jujur. Dia terkekeh mendengar jawabanku
“Kamu juga tambah cantik vi.” Pujinya yang membuat pipiku memerah lagi
“Kok kamu nggak pernah ngabarin aku sih?”
“Maaf ya vi. Aku cukup sibuk untuk beradaptasi dengan lingkungan maupun bahasa. Kamu tau kan bahasa inggrisku dulu jelek banget. Karena itu, aku nggak punya waktu buat main2 ataupun sekedar ngabarin kamu. Tapi percaya deh sama aku, di sana yang ada di pikiranku hanyalah kamu”
Aku tersenyum. Aku merasa, ini hanyalah sebuah rayuan gombal. Tapi apakah aku akan berpikir sama jika yang mengatakannya adalah Alvin? Atau aku akan merasa berdebar-debar?
“Kamu gimana di sini vi?” tanyanya. Akupun menceritakan kehidupanku saat ini. pastinya ku lewatkan semua ceritaku dengan Alvin. Basa-basi yang akan dilakukan semua orang, ketika sudah lama tak bertemu. Rasa canggung pun masih meliputi diriku. Waktu memang berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah sore. Iel pun mengantarkan ku pulang sampai ke rumah.
“ntar malam, jam 7, aku jemput kamu” Aku pun hanya mengangguk kemudian masuk ke kamarku. Aku bersiap-siap, menggunakan dress selutut berwarna hitam dengan belt warna merah.Kemudian ku pakai pita merah dan flat shoes merah. Aku tersenyum memandang pantulan bayanganku di cermin. Aku bahagia bertemu dengan cinta pertamaku dulu. Aku yakin, rasa sayangku pada Iel takkan pernah berubah sampai hari ini.
Drrt..drrt..drrt...
From : Alvin ‘my prince charming’
Vi, kita ketemu di taman pukul 7 . Ada yang ingin aku ngomongin. Always wait you..
Aku terduduk di tepi tempat tidurku. Apa yang harus ku lakukan sekarang. Apakah aku harus pergi menemui Iel ? atau ku temui Alvin yang benar2 mengisi hatiku saat ini. Aku menatap jam di kamarku. Kurang 10 menit jam 7. Aku mendengar suara klakson mobil Iel. Aku mendesah. ‘Maafin aku Vin.’ Aku mengambil tasku dan segera turun menghampiri Iel. Aku cukup terpesona dengan Iel yang menggunakan kemeja merah + jas hitam, yang ia gulung tangannya sampai sikut. Iel menggandeng tanganku, membukakan pintu mobil untukku. Dalam perjalanan, kami beruda hanya diam. Sama sekali tak berkomentar atau berbicara. Sibuk dengan pikiran masing2. Kami berdua sampai di sebuah restoran mahal menurutku. Dia menyiapkan tempat di pojokan ruangan,dengan lampu yang remang2, lilin putih di atas meja, dan setangkai melati yang diletakkan di tempatnya. Aku kaget dengan semua itu. Iel menarik sedikit kursi di hadapannya.
“Silahkan duduk tuan putri. ” sahut Iel yang membuat semua anak muda di situ jadi iri, sedangkan semua orang tua senyum2. Aku hanya tersenyum simpul dan duduk di tempat itu. Kami berdua makan sambil mengobrol kisah-kisah dulu. Kisah yang lucu maupun aneh menurut kami berdua. Terkadang kami tertawa terbahak-bahak, ataupun nyengir mengingat semua yang terjadi di masa lalu.
“Vi, aku sayang sama kamu. Kamu tau kan, rasa sayangku padamu dari dulu hingga sekarang nggak pernah berubah. Nggak pernah terhapuskan oleh waktu. Cuma kamu yang ada di hatiku. Would you be my girl?” ungkap Iel sambil memegang kedua tanganku erat. Aku terdiam. ‘Ya, aku mau Iel..’ mungkin jawaban itu yang akan aku kasih untuknya, seandainya ia datang 2 tahun lalu dan bukan saat ini. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Hatiku, bukan miliknya lagi. Cintaku pun terhapuskan oleh waktu. Aku sadar, aku adalah manusia yang paling egois dan tidak setia. “kamu menunggu Iel sebagai sahabat atau sebagai cinta pertamamu?” pertanyaan Alvin itu terngiang-ngiang di kepalaku. Saat itu mungkin aku dengan mantap menjawab cinta pertamaku. Namun saat ini, apakah aku masih bisa menjawab dengan mantap bahwa aku menungguna sebagai cinta pertama?
“Vi? Kok diam?”
“A..Aku...”
“Aku tau, kamu pasti mau nerima aku kan? Dari dulu kamu kan sayang sama aku. Makanya kita berjanji seperti dulu. Makasih ya vi, kamu masih mau nunggu aku sampai sekarang.” Aku cengo dengan apa yang Iel katakan. Bukankah harusnya aku bahagia? Iel mengangkat dagu-ku dengan tangannya, ia mendekatkan wajahnya padaku. Aku bisa merasakan nafas hangatnya berhembus di wajahku, dapat kucium harum parfum yang ia gunakan. Matanya memandangku lembut. Kututup mataku erat2, aku tau wajahku pasti sudah berubah seperti tomat, aku takut. 1 detik...2 detik..3 detik...aku tak merasakan apapun. Ku buka mataku, ku lihat Iel telah duduk di kursinya
“Pergilah!” Aku mengernyit tak mengerti. “Ayolah vi. Aku tau kamu tadi mau nolak aku. Aku tau hatimu sekarang bukan untukku. Aku sadar tatapanmu itu berbeda dengan 7 tahun yang lalu. Karena tatapan itu, hatimu dan cintamu hanya milik Alvin sekarang. Iya kan?” tanya Iel sambil tersenyum manis
“Maafin aku yel..” ucapku dan air mata bersalahku kembali turun.. Iel menghapusnya dengan ibu jarinya.
“Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan vi. Bukan denganku, tapi dengan orang lain. Aku rela kok, asal kamu bahagia. Maaf ya, aku tadi aku ngebuat kamu ketakutan. Aku hanya ingin memancing emosi kamu yang sebenarnya. Hanya untuk meyakinkan aku kalau kamu memang bukan untukku lagi. Tapi, kita tetap sahabat kan?” aku mengangguk pasti sekarang.
“Makasih ya yel.” Aku pun segera pergi dari restoran itu. Aku memberhentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat. Aku pergi ke taman, tempat janjiku dengan Alvin. Sekarang pukul setengah 9. Aku mencari sosok Alvin. Namun tak ku temukan sosok Alvin di manapun. Aku terduduk lemas di salah satu bangku taman. Ini memang salahku. Mengabaikannya.
I can show you the world
Shining, shimmering, splendid
Tell me, princess, now when did
You last let your heart decide?
I can open your eyes
Take you wonder by wonder
Over, sideways and under
On a magic carpet ride
A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming
A whole new world
A dazzling place I never knew
But when I'm way up here
It's crystal clear
That now I'm in a whole new world with you
Now I'm in a whole new world with you
Unbelievable sights
Indescribable feeling
Soaring, tumbling, freewheeling
Through an endless diamond sky
A whole new world
Don't you dare close your eyes
A hundred thousand things to see
Hold your breath - it gets better
I'm like a shooting star
I've come so far
I can't go back to where I used to be
A whole new world
Every turn a surprise
With new horizons to pursue
Every moment red-letter
I'll chase them anywhere
There's time to spare
Let me share this whole new world with you
A whole new world
That's where we'll be
A thrilling chase
A wondrous place
For you and me
Shining, shimmering, splendid
Tell me, princess, now when did
You last let your heart decide?
I can open your eyes
Take you wonder by wonder
Over, sideways and under
On a magic carpet ride
A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming
A whole new world
A dazzling place I never knew
But when I'm way up here
It's crystal clear
That now I'm in a whole new world with you
Now I'm in a whole new world with you
Unbelievable sights
Indescribable feeling
Soaring, tumbling, freewheeling
Through an endless diamond sky
A whole new world
Don't you dare close your eyes
A hundred thousand things to see
Hold your breath - it gets better
I'm like a shooting star
I've come so far
I can't go back to where I used to be
A whole new world
Every turn a surprise
With new horizons to pursue
Every moment red-letter
I'll chase them anywhere
There's time to spare
Let me share this whole new world with you
A whole new world
That's where we'll be
A thrilling chase
A wondrous place
For you and me
Aku berbalik melihat siapa yang menyanyikan lagu itu. Itu lagu kesukaanku. Aku tersenyum menemukan Alvin membawa lagunya dan menyanyikan lagu itu.
“Let me share this whole new world with you. Would you?”
“I will, if you never leave me.” Dia tersenyum sangat manis yang membuatku berdebar-debar sekali lagi. Dia berlutut di hadapanku, memegang kedua tanganku.
“Aku sudah tau semuanya vi. Iel tadi menghubungiku. Aku sendiri nggak tau giamana caranya ia tau nomor HP-ku. Tapi sudahlah. Bukan itu yang penting sekarang. Yang penting sekarang adalah Would you be my girl?”
“Yes I will”
“Having you beside me, it make me the luckiest person on earth” ujarnya dan mencium keningku. Aku tersenyum. Inilah yang aku inginkan. Dan inilah cintaku yang sebenarnya. I never let it go...
Saya bingung ini cerpen apa bukan, setau saya kalo cerpen anak itu biasanya pendek
BalasHapus