Selasa, 05 Juli 2011

Always have a choice - part 9

                Ify membuka matanya kemudian melirik jam yang tergantung manis di kamarnya. Jam setengah 9 malam. Oh, secepat itukah waktu berjalan? Ia pun berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya sebentar, dan menghampri mamanya yang berada di ruang makan.
                “Tadi mama udah bangunin kamu, tapi kamunya nggak bangun, jadi mama nggak bangunin lagi.” Ujar sang mama ketika melihat anak perempuannya duduk di hadapannya
                “Iya”
                “Hmm, Iel itu dulu pernah datang waktu kamu sakit kan?” Ify hanya mengangguk sambil mengambil nasi dan beberapa lauk pauk malam itu. “Gimana hubungan kamu sama...Rio?” tanya mamanya agak ragu, membuat Ify menghentikan suapan nasi yang baru saja akan ia masukkan ke dalam mulut. Ia mendesah berat, memasukkan sesendok nasi itu ke dalam mulutnya, kemudian mengangkat bahunya.
                “Begitulah. Tidak sebaik dulu, dan lebih buruk dari pertama kali bertemu” jawab Ify yang fokus dengan piringnya. Ia bukannya sedang lapar, ia hanya tidak ingin melakukan kontak mata dengan mamanya. Ia hanya ingin menghindari pertanyaan2 tentang Rio, yang mengingatkannya bahwa mereka saudara kandung. Mama manda yang melihat tingkah laku anaknya pun memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan itu lagi.
                “Besok malam kamu ada acara?”
                “Nggak ada”
                “Kita makan di luar ya.” Ify mengerutkan keningnya sebentar, merasa ada yang aneh dengan mamanya. Tak seperti biasanya, mamanya akan mengajak makan malam di luar. Tapi karena Ify tak menemukan penjelasan yang lebih masuk akal, ia pun mengangkat bahunya lagi
                “Terserah mama”
                Setelah jawaban Ify itu pun, yang terdengar hanyalah dentingan sendok pada piring. Tak ada yang membuka percakapan lagi. Ntah karena hubungan mereka yang tidak sebaik dulu, atau karena tak punya topik pembicaraan, atau karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Entahlah.

                “Ify ke kamar ya” pamit Ify setelah selesai makan, dan membersihkan meja serta mencuci piring yang tadi digunakan mereka berdua. Mereka memang tak punya pembantu. Mama manda pun hanya mengangguk dan membiarkan Ify masuk ke kamarnya. Ify berbaring di tempat tidunya. Ia mengambil HP-nya yang berbunyi.
                Ka Iel calling....
                “Hallo”
                “Hei, lagi ngapain?”
                “Hmm, baru selesai makan malam ka. Kakak sendiri lagi ngapain?”
“Lagi mikirin kamu..” Ify terdiam, darahnya berdesir cepat. Apakah Iel dapat membantunya melupakan Rio? Ataukah ini hanyalah sebuah rasa bersalah?
“Gombal”
“Bener tau.”
“Iya deh, percaya.Btw, udah makan ka?”
“Belum”
“Ya ampun ka, makan gih, ntar sakit lagi”
“Iya, mrs.Damanik. Aku seneng deh kamu perhatian sama aku” ucap Iel membuat Ify tersenyum getir. Apa iya, ia perhatian? Ataukah itu hanya sebagai balasan atas kebaikan yang telah Iel berikan padanya? “Fy, kamu udah nggak apa2 kan?”
“Udah baikan kok ka, dibanding tadi siang”
“Fy, aku mau kalau kamu ada masalah, kamu cerita aja ke aku. Jangan dipendem sendiri. ”
“Iya ka Iel”
“Janji?”
“Iya sayangku..” ucap Ify membuat ia menutup lagi mulutnya. Ah, mengapa tidak ada beban ketika mengucapkan kata sayang pada Iel? Bukankah ia masih begitu sayang pada Rio? Ataukah Iel perlahan mulai merebut segala perhatian dan hatinya? Apa ia benar2 harus mengikuti apa yang Rio katakan tadi siang?
“duh seneng deh dipanggil sayang”
“apaan sih ka Iel. Udah deh”
“Diulang lagi dong”
“Nggak”
“Ayolah fy”
“Nggak mauuu..”
“Kenapa?”
“Kan malu..”
“sama pacar sendiri, masa malu”
“Udah ah, kalo masih ngebahas, aku tutup nih telponnya”
“Hehe. Iya deh. Eh fy, aku makan dulu ya. Kamu tidur gih, jaga kesehatan”
“Oke boss”
“Bye. Love you fy”
“Love you too” ucap Ify berat. Ah mengapa perasaannya begitu tidak menentu seperti ini? Bukankah tadi dengan mudahnya mengucapkan sayang, mengapa kali ini lidahnya terasa kelu? Ify meletakkan HP-nya kemudian memeluk boneka teddy bear
 “Gue harus kayak gimana teddy? ”

                *****
                Alvin menatap jam yang melingkar di tangannya. Ia belum bertemu dengan Via, pagi ini, membuat ia frustasi. Akhirnya yang ia lakukan hanyalah berdiri di depan kelas Via, menunggu Via datang, sambil sesekali menatap ke arah gerbang sekolahnya. Ketika ia menatap ke arah gerbang, tepat Via datang dengan seorang cowok yang Alvin lihat kemarin, ketika membukakakn pintu pada Via.
                “Ka Alvin?”
                “Tadi, sama siapa Vi?”
                “Sama kakakku. Kak, Rico” hanya jawaban singkat dari Via itu saja membuat Alvin terpaku, darahnya berdesir cepat. Cemburu? Bukan, ia sama sekali tidak cemburu. Perasaan benci yang dulu ia kubur dalam2 menyeruak kembali ke dalam dadanya. Ah, kenapa ia harus diperhadapkan dengan orang yang sama lagi? Ia ingin sekali membalas dendam. Membalas dendam pada siapa? Pada Rico? Atau pada adiknya, yang mungkin tak tau apa2? Ia begitu menyayangi Via, namun untuk membalaskan sakit hatinya dulu, apakah ia harus melepaskan rasa sayang itu, dan membuat perhitungan dengan Rico?
                “Ka Alvin kenapa?” tanya Via lembut membuat Alvin tersadar dari lamunannya.
                “Nggak apa2.” Ucap Alvin yang terdengar ketus. Ia kemudian meninggalkan Via yang masih bingung dengan sikapnya.

******
                Via pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin sendiri. Ify sedang bersama Iel di perpustakaan, sedangkan Shilla entah ia berada di mana. Ia sama sekali tidak lapar, namun daripada bengong di kelas, ia memutuskan untuk pergi saja ke kantin, mungkin ada yang ie kenal dan bisa diajak ngobrol. Via pun melihat Alvin yang lagi-lagi duduk sendiri, di sudut kantin
                “Ka alvin” panggil via, namun tak ada respon sama sekali dari Alvin. Alvin menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. Bahkan mungkin ia juga tidak memperhatikan Via yang  sejak tadi berdiri di hadapannya. “Ka Alvin lo kenapa sih?” tnaya Via gregetan melihat tingkah laku Alvin.
                “gue nggak apa2. Mending lo pergi deh vi, gue lagi pengen sendiri” ucap Alvin tanpa memandang wajah Via sama sekali
                “Tapi...”
                “GUE BILANG PERGI YA PERGI” bentak Alvin yang bukan hanya membuat Via kaget setengah mati, namun juga sesisi kantin memandang ke arahnya. Via pun perlahan pergi, ia tidak siap mendengar bentakan2 lain dari Alvin. Kenapa semuanya seperti ini? Kenapa Alvin bisa berubah 180 derajat?
                *****
Malam ini, seperti rencana semalam, Ify dan mamanya pergi makan di luar. Mereka berada di salah satu restoran mahal, yang membuat Ify lagi-lagi harus berpikir keras, ada alasan apa mamanya mengajak makan di luar
“Hai mas” sapa mama manda, membuat Ify mau tak mau menatap orang yang disapa mamanya. Ia tersentak. Bukan dengan orang yang disapa tadi, tapi orang yang ada di sebelahnya, dan siapa wanita yang berdiri di samping itu?
“Hai manda, hai ify” Ify memalingkan wajahnya kemudian tersenyum tipis.
“Maaf ya telat, tadi macet banget di jalan. Jadinya sampai di siniudah jam 10 deh” ucap mama manda
“Nggak apa2. Kita juga tadi baru nyampe jam 9 kok. Oh ya fy, kenalin ini tante Fanny, istri saya” ucap pak Doni
“Ify” ucap Ify sambil tersenyum tipis. Benci? Tidak, semuanya sudah terjadi. Ia tidak dapat merubah segala sesuatunya, dan mengembalikan keadaan seperti semula
“Ayo duduk” mama manda duduk di sebelah tante Fanny, sedangkan Ify, dengan begitu terpaksa harus duduk di sebelah Rio. Ya, Rio ada di situ.
“Lo cantik malam ini” bisik Rio.
“Makasih” balas Ify. Mengapa Rio harus membuatnya menjadi sulit? Mengapa Rio harus memujinya seperti ini? Mengapa Rio masih saja melakukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat, bahkan rasa yang tak pernah ia rasakan pada Iel “Jadi, sebenarnya kenapa kita makan malam di sini?” tanya Ify pada siapa saja yang bisa menjawab pertanyaannya
“Karena ini restoran yang terkenal dengan makanannya” ucap pak Doni.
“Bukan, om. Maksud Ify, bukan itu. Maksud Ify adalah apa tujuan kita dikumpulkan di sini?”
“Hanya untuk lebih mengenal dan lebih dekat” acara makan malam itu pun hanya diisi dengan percakapan antara bu manda, pak doni dan bu fanny. Rio dan Ify lebih memiih untuk diam dan mendengarkan. Sebenarnya bukan hanya itu, tapi agar lebih fokus untuk menetralisir segala perasaan yang muncul.
“Pa,ma, tan Rio ke pantai dulu ya” ucap Rio. Kelebihan restoran itu selain pada makanannya, adalah letaknya yang memang dekat dengan pantai
“ajak adikmu juga yo” ucap pak Doni yang membuat Ify dan Rio saling bertatapan.
“Oke. Yuk fy” ucap Rio dan menarik tangan Ify, menggandengnya berjalan ke arah pantai. Andai saja waktu dapat berhenti, ia akan lebih lama menggenggam tangan Ify. Andai saja ia boleh memilih agar tidak terlahir di tengah2 keluarga Haling, ia akan berjuang untuk mendapatkan hati Ify. Dan andai saja, semua harapannya dapat terjadi, ia akan begitu bahagia. Namun, ia tau itu hanyalah hayalan yang memang tak akan pernah terjadi. Ia pun melepaskan genggamannya, tak ingin ada yang lebih terluka lagi dengan semuanya
“Gimana hubunganmu dengan Iel?”
“begitulah” jawab Ify yang kehilangan kata-katanya. Mengapa semuanya terasa begitu kaku? “Gimana hubunganmu dengan ka Zahra?”
“Hahaha, emang keliatan ya? Yah, gue emang masih dalam tahap pendekatan. Doain gue aja dek, supaya gue bisa diterima dia suatu saat nanti.” Jawab Rio membuat Ify menahan nafasnya. Seperti itukah hubungan Rio dan Zahra? Semudah itukah? Ah, bukannya Rio memang tak memiliki perasaan apa2 padanya? Tentu ia pasti dengan mudah menyayangi orang lain. Tidak seperti Ify yang begitu sulit menghapus nama Rio dari hatinya. Apalagi yang sebenarnya ia cari dan ia inginkan? Bukankah semua sudah tertulis dengan jelas bahwa ia dan Rio memang tak akan pernah bersatu. Apalagi yang ia tunggu? Mengapa ia masih saja sulit membukakan pintu hatinya pada Iel?
“Gue doain lo cepet jadian sama ka Zahra” ucap Ify. Bukan, bukan itu yang ingin ia katakan. Ia sama sekali tidak ingin itu terjadi.
“Gue juga doain lo bakal terus bersama Iel sampai kakek2, nenek2.” Ucap Rio yang terdengar begitu tulus “Enak juga ya, punya adik atau kakak, jadi bisa saling mendoakan. hahaha” sahut Rio lagi, namun Ify sama sekali tak menanggapinya, karena menurutnya ini bukanlah sesuatu yang harus dianggap lelucon
*****
Alvin terduduk di lapangan basket yang ada di kompleksnya. Ia hanya memandang kosong ke arah lapangan yang memang sepi malam itu.
“Vin” Alvin yang masih mengingat dengan jelas suara itu langsung memandang Orang tersebut dengan tatapan dingin “Gue harap lo jangan sakitin adik gue vin. Itu adalah masalah kita yang dulu”
“Oh gitu? Terus lo waktu deket sama adik gue, gue bahkan nggak pernah bilang kayak gitu, tapi ternyata lo malah ngebunuh dia RIKO”
“Itu kecelakaan vin”
“Dan lo ,masih bisa mengelak dan membela diri lo sendiri”
“Vin, gue tuh sayang banget sama Acha, gue...”
“Lo ngebuat dia mati. Lo ngebuat gue ngerasa sendiri. Lo rebut semua kebahagiaan gue, bahkan satu2nya yang gue punya. GUE BENCI LO RIKO”
“Lo boleh benci gue, lo boleh mukul gue, lo boleh bunuh gue kalo itu emang ngebuat lo merasa tenang. Tapi gue mohon, lo jangan sakitin Via”
“Oh ya?”
“Lo jangan balas dendam lewat dia”
“Kenapa gue nggak bo...”
“KARENA GUE TAU LO SAYANG SAMA VIA KAYAK VIA SAYANG SAMA LO, ALVIN” teriak Riko membuat Alvin terdiam “Gue tau lo juga dari Via. Via selalu bersemangat kalau ceritain tentang lo. Awalnya gue ragu, Alvin yang dia maksud adalah elo, kakaknya Acha. Tapi setelah gue ngeliat lo nganterin Via pulang. Gue yakin itu lo. Dan gue mohon, jangan bawa masalah kita ke Via.” Ujar Riko. Alvin tetap diam. Ia tidak bergerak, bahkan berbicara satu kata pun, membuat Riko akhirnya berjalan meninggalkan Alvin sendiri.
*****
“Lo tunggu bentar di sini ya fy. Jangan ke mana2. Gue bakal balik sebentar lagi” ucap Rio dan meninggalkan Ify sendiri. Ify terduduk di pinggir pantai, menatap gelombang laut yang menyapu pantai dengan begitu lembut. Ia morogoh HP-nya, melihat jam yang tertera di HP-nya. Sudah pukul 12 malam. Bersama dengan Rio walaupun sesaat membuat ia lupa pada segala hal. Lupa pada masalahnya, lupa waktu, bahkan termasuk iel, pacarnya sendiri.
selamat ulang tahun ku ucapkan, sambutlah hari indah bahagia. selamat ulang tahun untuk
kamu.
Panjang umur didalam hidupmu. Trimalah kadoku buat kamu. Yang kupersembahkan lewat laguku ini” nyanyi Rio yang membuat Ify speechless. Ia lupa bahwa Rio memiliki suara yang luar biasa lembutnya, dan ia lupa ulang tahunnya sendiri. Ify terpaku. Ada Rio tepat di hadapannya membawakue ulang tahun. Ia juga melihat mama manda, tante fanny, dan papa doni berada di belakang Rio. Ie merasakan HP-nya bergetar.
Iel calling....
Ify masukkan lagi HP-nya itu, seolah tak ingin siapapun mengganggu waktunya ini.
“ditiup fy lilinnya. Tapi sebelum itu lo harus make a eish dulu. Kata orang kalau make a wish, terus semua lilin yang berjumlah umurmu padam dalam sekali tiupanmu, maka apa yang kamu harapkan akan menjadi kenyataan” ujar Rio membuat Ify mengangguk
‘aku berharap kalau ka Rio bukanlah kakak kandungku’ ucap Ify dalam hati. Terdengar egois mungkin, tapi ini toh hanya sebuah harapan yang tak mungkin pernah terkabul. Ify meniup semua lilin yang berjumlah 16 dan berharap bahwa semua lillin itu mati. Namun sayang, ada 1 lilin yang tetap menyala, sehingga Ify perlu meniupkannya untuk kedua kali. Seperti yang dia pikirkan, Rio akan selalu jadi kakakknya dan itu takkan pernah berubah
“Happy birthday fy” ucap Rio sambil mengecup kening Ify agak lama. Sekali lagi ia ingin waktu berhenti sejenak agar kebahagiaan ini tak segera berhenti, namun lagi, dan lagi itu tak kan pernah bisa terjadi.
“Selamat ulang tahun sayang” ucap mama manda sambil memeluk dan menngecup kening anaknya
“Makasih ma”
“Selamat ulang tahun ify” ucap tante fanny. Walaupun ia memang bukanlah ibu kandung dari Ify, namun ketulusan dan kasih sayang dapat terpancar dari matanya, ketika memberi selamat pada Ify
“Makasih tan”
“Selamat ulang tahun sayang. Maafin papa, selama ini nggak bisa berada di dekat kamu.” Ucap papa Doni sambil memeluk Ify.
“Hmm, aku punya 1 permintaan”
“Apa itu fy, akan papa kabulkan”
“Boleh Ify panggil om Doni, hmm, papa?” ucap Ify pelan namun masih bisa terdengar oleh semua yang ada di situ.
“Sangat boleh sayang. Papa senang kamu mau manggil papa” ucap papa Doni sambil memeluk Ify erat. Yah, Ify memang sudah memutuskan, di usianya yang baru ini, ia akan menerima kenyataan pahit itu. Ia mendapat hadiah kakak, papa, dan pacar. Namun itu semua tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Ia tak berharap bahwa orang yang ia sayang adalah kakaknya.
“Ya udah, ayo kita pulang” ajak mama manda dan disetujui oleh semuanya. Ify dan Rio berjalan di depan, sedangkan orang tua mereka ada di belakang.
“Lo yang ngerancang ini semua kak?”
“Kalo masalah makan maam, itu rencana papa. Gue Cuma rencanain surprise ini aja”
“Lo kok baik sih sama gue kak?”
“Karena gue adalah kakak lo dan gue harus melakukan yang terbaik untuk adik gue satu-satunya. Kenapa? Nggak boleh?” tanya Rio, Ify menggeleng kuat.
“Bukan gitu, Cuma semakin lo baik sama gue, ngebuat gue jadi sulit ngelupain perasaan gue ke lo kak. ” ungkap ify jujur. Ia memang tak ingin ada kebohongan atau kemunafikan antara mereka
“Lama kelamaan lo pasti akan biasa dengan kebaikan gue. Dan lama kelamaan juga lo pasti akan nganggep gue benar2 kakak lo.” Ucap Rio sambil mengacak rambut Ify lembut. Ify hanya terdiam. Yah, ia juga ingin seperti itu. Tapi apakah bisa?
******
Iel berkali-kali memandang HP-nya. Gadisnya tidak mengangkat telpon darinya. Apa ia sedang marah? Namun Iel menggeleng. Tak mungkin! Ia tidak berbuat suatu kesalahan dan Ify bukanlah gadis yang suka menggunakan emosi untuk menyelesaikan masalah. Sudah tidur? Mungkin saja, tapi masa mereka sama sekali tidak mendengarkan bunyi bel? Atau mungkin mereka sedang keluar? Jawaban terakhir yang dipikir Iel itulah yang nampaknya paling masuk akal..
Iel sedang berada di depan rumah Ify. Ia membawa bluberry cheese cake, ingin membuat surprise ulang tahun untuk gadisnya. Namun, sayangnya Ify tak berada saat ini. Ia pun memilih duduk di kursi depan rumah Ify. Menunggu. Mungkin itu jawaban yang paling tepat.Toh ia juga sudah menunggu dari 1 jam yang lalu. Ia melirik lagi HP-nya. Sudah jam 1 pagi. Bunyi mobil berhenti tepat di depan rumah Ify. Nampak Ify dan mamanya turun, serta Rio yang ntah bagaimana mengikuti langkah Ify.
“Ka Iel” pekik Ify melihat Iel yang duduk di depan rumahnya.
“Happy birthday fy. Tadi aku mau ngebuat surprise, Cuma kamu nggak ada. Eh, tiba2 kamu muncul dari depan. Jadinya nggak sempat nyalain lilin lagi deh” ucap Iel sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali nggak gatal. Ify melihat kue yang dibawa Iel. Ah, ia merasa semakin bersalah. Ia memang tidak berselingkuh. Tapi hatinya saat ini masih dimiliki Rio. Mungkin nanti Iel yang jadi pemiliknya. Ify pun langsung memeluk Iel, dan dibalas dengan Iel.
“Maafin aku ya. Kamu udah susah payah ngebuat surprise, tapi aku malah menghancurkannya” ucap Ify sambil menahan tangisnya.
“Hei, jangan nangis” ucap Iel dan melepaskan pelukan Ify “Nggak apa2 kok. Aku Cuma mau kamu nggak pernah nangis karena aku. Happy birthday sayang” Ify pun mengangguk. Iel mengecup kening Ify, tak lupa kedua pipinya.
“Ehm, duh lupa nih ada orang lain” ucap mama manda membuat wajah Iel langsung memerah
“Eh tante. Maaf tan”
“Nggak apa2, tante masuk dulu”
Rio yang melihat itu, hanya bisa mundur perlahan, kemudian masuk lagi ke mobil. Mungkin sudah saatnya ia mundur. Seperti kata Alvin, ia punya pilihan. Dan pilihannya adalah membiarkan Ify bahagia dengan orang lain. Sakit? Bohong, jika ia tidak merasakan itu. Ia merasakan sakit di hatinya ketika melihat Ify bersama orang lain. Tapi toh ia tidak akan pernah bisa merubah apapun, karena ia memang tak akan pernah bisa bersama dengan Ify
“Jalan pa” ucap Rio ketika masuk ke mobil
“Itu siapa yo?”
“Pacar Ify” jawab Rio singkat. Rio sama sekali tidak sadar bahwa berkali-kali papanya melihat raut wajahnya dari kaca spion.

JREEENG....
Bersambung...
Gimana kelanjutan Rio-Ify-Iel?
Apa yang terjadi dulu antara Riko-Acha-Alvin??

0 komentar:

Posting Komentar