Senin, 27 Juni 2011

Kebahagiaan - cerpen

                Hai! Aku ingin menceritakan sedikit tentang hidupku. Aku adalah gadis cantik, di mana semua mata lelaki menatap padaku. Aku gadis populer di sekolahku Aku tinggal di salah satu perumahan elit dan selalu membawa monil ke sekolah. Nilaiku selalu baik, tak pernah gagal, bahkan selalu mendapatkan peringkat 1 di kelasku. Aku pun punya seorang pacar yang tampan. Aku sangat bahagia
-The end-
                Oh tidak! Ini bukanlah akhir dari ceritaku. Bahkan awal ceritaku pun tak seperti di atas. Namaku Alyssa Saufika Umari. Keluargaku memanggilku Ify. Wajahku biasa saja, tidak dapat dikatakan cantik. Jelek? Aku rasa tak ada satu orang pun di dunia ini yang jelek, karena sebenarnya penilaian itu relatif atas apa yang kita lihat. Intinya wajahku biasa saja. Aku bukanlah gadis yang ketika lewat maka semua mata lelaki akan memandang padaku. Tapi aku hanyalah Ify, sama sekali tak menarik, karena aku memang sedikit tomboy. Aku tidak tinggal di kawasan elit. Aku ngekos di jakarta, karena orang tuaku berada di daerah dan tinggal di rumah yang dipinjamkan oleh kantor ayahku. Catat, DIPINJAMKAN! Bukan rumah elit. Keluargaku bukanlah keluarga kaya di mana, ketika ulang tahunku, aku boleh memilih hadiah apa yang aku inginkan, bahkan termasuk jalan2 di Paris dalam 1 minggu. Bukan. Keluargaku juga tidak miskin sekali, namun berkecukupan. Aku selalu naik mobil ke sekolah, tapi janganlah kalian berpikir bahwa aku membawa mobil ke sekolah. Aku hanya NAIK, dan aku naik bus langgananku. Toh bus juga mobil kan? Jarang sekali aku mendapat peringkat pertama. Walaupun aku masih masuk dalam 5 besar sih. Tak pernah gagal? Oh guys, aku juga hanya manusia biasa. Aku sering gagal.
                Aku yakin, kalian tak ingin membaca kisahku lagi. Karena aku adalah gadis yang biasa saja, tidak populer, tidak terlalu pintar, tidak kaya, apa yang menarik dari kisahku ini? terserah pada kalian. Aku di sini hanya ingin membagikan kisahku dan pandanganku tentang apa itu kebahagiaan.
                “Ify!” aku memalingkan wajahku pada sosok laki-laki yang sedang melambaikan tangan padaku “Kamu ngapain di sini?”
                “Hanya sedang membuat cerpen”
                “Dasar miss story. Hayalanmu terlalu tinggi fy. Tapi aku yakin, jika ceritamu dipublikasikan ke orang-orang, semua pasti akan senang sekali dengan ceritamu itu. ” Aku hanya terkekeh mendengar penuturannya. Ku alihkan pandanganku ke arah laptopku lagi.
Oh ya, aku lupa 1 hal. Pacar? Pasti kalian berpikir bahwa yang menyapaku tadi adalah pacarku. Tidak, tidak. Dia adalah sahabatku, namanya Alvin. Aku belum punya pacar, lebih tepatnya aku belum pernah pacaran. Dari SMP sampai SMA sekarang, aku memang menyukai Alvin. Namun, sayang aku hanya bisa menyimpan perasaanku itu dalam-dalam. Menyimpan perasaanku begitu rapat, sehingga semuanya nampak biasa saja. Apa aku bahagia? Entahlah. Itu semua tergantung bagaimana kau memandang arti kebahagiaan. Aku sendiri tak mengerti apa itu bahagia. Apa bahagia itu adalah ketika kita memiliki semuanya?
“Fy temenin aku ke kantin yuk”
“Kamu pergi saja”
“Aku mau ditemenin kamu” ujarnya seperti anak kecil
“Oh gosh! Vin, kamu nggak liat aku sibuk tulis cerita?”
“Dilanjutin di kantin aja”
“dan kamu juga tau kan aku harus segera menulis ide yang ada di otakku”
“Ayolah fy”
“Alvin!” akhirnya dia diam. Tapi bukannya berjalan ke kantin meninggalkanku, ia malah duduk di depanku dan memandangku. Aku mendengus pelan. “Kalo mau pergi, pergi aja. Kalo mau nunggu, nunggu aja. Tapi jangan ngeliatin aku kayak gitu dong” ujarku sewot, tapi masih tetap mengetik. Dia terkekeh
“kamu cantik” aku terhenti sejenak ketika mendengarnya. Nmun ku fokuskan lagi pikiranku dan lanjut mengetik.
“Cantikan mana sama via?”
“Maaf ya fy, bukannya aku nggak setia kawan tapi Via lebih cantik bagiku.” Jawabannya telak menusuk hatiku. Yah aku tau, ia memang menyukai via. Lantas, apalahi yang ku harapkan? Aku menutup laptopku
“Ayo kita pergi” ucapku dan memasukkan laptopku ke tas yang ku bawa
“Sini” ia pun mengambil tas itu dari tanganku. Ia memegang di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya merangkulku
“Vin, kamu nggak takut via cemburu?”
“Sahabat aku ini. Nggak apa-apa dong” ucapnya santai. Bukan. Aku bukanlah gadis baik yang memikirkan perasaan Via, temanku. Tapi aku adalah gadis egois yang memikirkan perasaanku sendiri. Aku tak mau sikap Alvin seperti itu malah membuatku berharap banyak. Harapan yang tak seharusnya aku biarkan bertumbuh
“eh couple of this year udah datang” goda teman2ku
“apaan sih?”
“Abisnya kalian lebih kayak orang pacaran tau nggak, daripada kayak sahabatan” celetuk Rio
“Kenapa yo? Cemburu?”goda Alvin sambil menaik-turunkan alisnya.
“Udah deh, ke sini tujuannya buat makan kan vin.” Ucapku. Alvin pun nyengir
“Mau makan apa fy?”
“Aku nggak makan, aku Cuma nemenin kamu doang” Ia pun mengangguk dan menyerahkan tas laptopku dan memesan makanan.
Tak jauh dari tempatku duduk, ada Via dan Iel yang sedang pacaran. Mereka begitu terlihat serasi. Andai saja, Alvin tidak punya perasaan pada Via, mungkin akulah yang akan meluluhkan hatinya. Atau orang lain juga?
******
“Cieeee, yang udah jadian. PJ cuy” ucapku pada sahabatku dan Via, yang membuat mereka berdua jadi salah tingkah.
Beberapa minggu yang lalu Via putus dengan Iel karena sikap Iel yang katanya ‘cuek’ dan ‘tak perhatian’. Pada saat Via merasa sendiri datanglah Alvin yang selalu ada dan hadir saat Via membutuhkannya. Oh, terdengar seperti sinetron zaman sekarang. Tapi itulah kisahnya, aku bahkan tak bisa berkata apa-apa ketika Alvin menelponku semalam. Semuanya terlihat begitu tragis. Mengapa aku tak bisa mendapatkan yang aku inginkan? Mengapa aku tak bisa merasakan kebahagiaan? Tak pantaskah? Aku berharap bahwa ceritaku happy ending, bahwa nantinya Alvin sadar akan perasaanku dan membalas perasaanku. Namun itu semua hanyalah hayalan dan harapanku.
“Vin, Vi, aku pergi dulu ya. Dipanggil bu Winda”
“katanya mau ditraktir” cibir Alvin
“Hehehe. Ntar aja. Biasa orang sibuk”
Aku pun segera meninggalkan sepasang kekasih itu. Mereka begitu terlihat bahagia. Aku sama sekali tak dipanggil bu Winda, aku hanya ingin pergi ke taman dan menenangkan diriku.
“Hei” ucap seseorang membuatku menoleh “katanya mau ke bu winda” sindirnya
“Hmm..”
“Kalau mau nangis, nangis aja” Aku menatapnya heran “Aku tau, kamu mungkin adalah salah satu orang yang tak bisa menangis di hadapan orang lain, atau mungkin kamu adalah orang yang tak ingin menyelesaikan sesuatu dengan tangisan, tapi tak ada salahnya jika kamu ingin mengekspresikannya lewat tangisan.”
“Aku hanya takut, aku tak bisa menghentikan tangisan itu.”
“Ada aku”
Aku terdiam. Air mataku mulai jatuh. Menangis? Oh itu bukanlah diriku. Aku jarang sekali menangis. Atau seandainya aku menangis pun, aku tidak akan menangis di depan seseorang. Tapi kenapa saat ini aku menangis di hadapannya? Ia memelukku erat, seolah ingin mengatakan bahwa aku tak pernah sendirian di dunia ini. Atau memberikan kekuatan untukku.
“Kamu harus janji satu hal padaku. Kamu bebas menangis hari ini, tapi besok aku tak ingin melihat tangisanmu lagi.” Ucapnya. Ah, kenapa bukan dari awal saja aku menyukainya. Rio
*****
Sejak kejadian aku menangis di taman, aku pun semakin dekat dengan Rio. Tapi yang tak ku mengerti adalah bagaimana bisa ia membuat pandanganku hanya padanya. Bagaimana bisa ia membuat pikiranku yang selama ini tertuju pada Alvin, sekarang hanya padanya? Bagaimana bisa ia membuatku rindu padanya, seperti saat ini? Ia tidak masuk sekolah hari ini, dan aku sibuk memandang jam tanganku. Berharap agar bel pulang segera berbunyi dan aku dapat menjenguk Rio yang katanya sakit.
TENG...Teng...teng...
Aku langsung memasukkan buku ke dalam tas dan menarik tasku.
“Fy, mau ke mana?” tanya Alvin
“Mau jengukin Rio”
“Ehm. Mau jenguk suaminya ya?” ledek Cakka membuat aku menggembungkan pipiku.
“Temen”
“Temen kok pipinya merah?”
Aku pun mendengus kesal
“Aku pergi ya.” Aku langsung meninggalkan mereka yang masih betah meledekku. Argh..Akhir-akhir ini semua suka meledekku dengan Rio, hanya karena kedekatan kami, yang kata teman2ku ‘lebih dekat daripada aku dengan Alvin’

@rumah Rio
“Siang. Rionya ada tante?”
“Eh Ify. Ada. Dari tadi pagi dia nggak mau makan, akhirnya dia nggak bisa minum obat. Tante sampai bingung” Aku hanya mengangguk-angguk mengerti. Aku memang sudah beberapa kali pergi ke rumah Rio untuk belajar bersama atau mengerjakan tugas. Karena itu, mama Rio sudah mengenalku.
“Langsung naik aja fy”
“Ify naik dulu ya tante” mama Rio pun mengangguk. Aku masuk ke kamar Rio. Terlihat Rio sedang tertidur. Ah, wajahnya begitu manis. Aku melihat makanannya yang masih tergeletak di sana. Aku menyentuh pipinya, sekedar mengecek suhu tubuhnya. Ternyata ia memang panas. Ia pun mulai membuka matanya.
“Rio”
“Hai fy” ucapnya sambil mengerjapkan matanya
“Kamu makan ya”
“Nggak mau”
“Kalo nggak makan, kamu nggak bisa minum obat, terus kamu nggak bisa cepat sembuh, terus kita nggak bisa jalan2 lagi deh”
“Iya deh. Tapi kamu yang suapin ya” Aku mengangguk. Aku mengambil piring makanannya, duduk di tepi tempat tidurnya, dan mulai menyuapinya. Ini pertama kalinya aku menuapi orang yang bukan keluargaku. Bahkan Alvin pun tak pernah. Aku masih tak mengerti, bagaimana bisa ia membuatku melakukan sesuatu yang bahkan belum pernah ku lakukan untuk orang lain. Waktu itu, aku menangis di hadapannya, dan saat ini aku menyuapinya. Setelah selesai, aku mengambil tissue dan membersihkan sudut bibirnya yang kotor. Namun, tanganku dihentikan oleh genggamannya. Ia menatapku dan berhasil mengunci pandanganku hanya padanya. Ia mendekatkan wajahnya padaku, oh my god, apa yang harus ku lakukan. Yang aku yakin adalah aku sedang tidak bermimpi, karena jantungku berdegup terlalu cepat. Dan aku yakin ini bukan mimpi karena aku merasa wajahku memanas, dan merasakan desahan nafasnya. Akhirnya aku menutp mataku.  Aku masih tak mengerti mengapa aku begitu terpengaruh olehnya.
“Makasih ya” bisiknya tepat di telingaku. Aku pun membuka mataku. Oh, aku kira dia akan menciumku. Hei, kenapa aku bisa berpikir seperti itu?
“Sama-sama. Aku pulang dulu ya” pamitku dan segera pulang. Pikiranku kacau. Apa benar aku jatuh cinta padanya? Apa benar ia berhasil menghapus perasaanku pada Alvin? Jantungku berdegup cepat. Apakah aku bahagia?
****
Hari sudah menjelang sore, namun masih terlihat segelintir orang yang masih sibuk dengan ekskulnya atau hanya sekedar bermain basket. Aku pun ada di sini. Berlari dari ruang perpustakaan ke ruang bu Winda, yang kali ini benar-benar memanggilku. Aku harus segera mengumpulkan laporanku
BUG
Aku terjatuh. Memegang sejenak kepalanya yang terkena bola basket. Baru saja aku mengangkat kepala dan ingin memarahi yang melemparkan bila basket itu, bibirku terkunci rapat ketika melihat siapa yang datang menghampiriku.
“Maafin aku ya. Aku nggak sengaja. Sini aku liat” ucap laki-laki itu sambil melihat dahiku “merah. Mau obat yang ampuh nggak?” Aku hanya mengangguk menjawab pertnyaannya
CUP..
Aku terperangah. Beberapa orang yang melihat kejadian tadi pun bersorak. Oh tidak, ia mengecup dahiku. “pasti sembuh” ucapnya seolah mantera yang membuatku menahan nafas melihat wajahnya
“Yo, jangan pacaran di situ ah. Kalo mau di rumah aja.” Ucap Alvin, yang entah bagaimana membuatku merasa pipiku memanas.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rio yang tidak perduli dengan ucapan Alvin. Ah, aku lupa. Aku kan harus ke ruang bu Winda
“Laporan” jawabku singkat. Aku kehilangan kata-kataku. Kenapa aku selalu kehilangan kata-kata jika bersama dengannya. Namun mendengar 1 kataku saja, sepertinya ia mengerti. Ia pun mengangguk-angguk dan membantuku berdiri.
“Mau aku temenin?”
“nggak usah”
“Aku tunggu kamu ya. Kita pulang bareng” Aku pun hanya mengangguk kemudian berjalan meninggalkannya. Aku melihat semua pasang mata yang ada di situ masih menatap kami berdua. Oh, tidak! Aku benar-benar malu.

Setelah selesai berurusan dengan bu Winda, aku kembali ke lapangan. Namun lapangan sudah sepi. Aku celingkuan mencari seseorang di sana. Seseorang yang berjanji untuk pulang denanku.
“Nyari aku ya?” Aku mundur selangkah karena kaget
“Rio! Kamu buat aku kaget tau nggak sih. Iya aku nyari kamu. Pulang yuk”
“hehe. Maaf. Yuk” ucap Rio sambil menggandeng tanganku, membuat wajahku memerah
“Ify masih sakit nggak?” tanya Rio sambil menunjuk dahi
“Masih, tapi udah berkurang kok”
“Mau aku cium lagi nggak, supaya sembuh?” tanya Rio yang membuatku langsung manyun
“Itu sih maumu” Dia hanya terkekeh. Aku menatapnya. Apakah ia memang menyukaiku, atau hanya menganggapku sebagai sahabat seperti Alvin? Apakah aku harus terus menerus mengalami sakit hati? Kapan kebahagiaan itu menghampiriku?
******
1 tahun kemudian
Aku sudah lulus SMA, dan sekarang aku kuliah desain interior di salah satu universitas terkenal. Saat ini aku sedang menunggu seseorang, kekasihku. Bukan cara yang romantis ketika ia meyatakan bahwa ia sayang padaku dan menginginkanku menjadi pacarnya. Namun, aku tak pernah bisa melupakan hal itu. Ia juga bukan Alvin, karena Alvin sudah bersama Via saat ini. Tapi orang lain yang entah bagaimana berhasil menyusup dalam hatiku dan menempati hatiku hampir seluruhnya. Yah, hampir. Karena di sudut hatiku, masih ada sedikit rasa pada Alvin yang tak bisa ku lupakan. Tapi aku yakin rasa kecil itu tak akan bertumbuh.
Tiba-tiba ada seseorang menutup mataku dengan tangannya.
“Aku tau, itu kamu Rio”
“Lama ya? Maaf” ucapnya setelah duduk di sebelahku
“Nggak kok. Apa sih yang nggak buat kamu” ucapku gombal membuat dia tertawa dan mengacak rambutku “Rio berantakan!”
“Maaf. Abisnya kamu ngegombal sih belajar dari mana?”
“Dari kamu” dia tertawa lagi, namun kemudian menyisir rambutku dengan jari-jarinya agar terlihat rapi
“Jalan yuk”
“Ke mana?”
“Makan. Aku lapar” ucapnya sambil mengelus perutnya. Aku pun mengangguk. Tapi pandanganku terhenti pada sekelompok anak2 yang aku yakini, anak jalanan karena terlihat dari baju mereka yang lusuh. Namun anak2 itu tersenyum lebar bahkan tertawa. Kenapa mereka bisa sebahagia itu?
“Fy” aku tersentak mendengar panggilan Rio “Ayo. Kok kamu malah bengong?” aku tersenyum. Akhirnya aku tau apa itu kebahagiaan. Aku pun berlari menghampiri Rio dan memeluk lengan kirinya
“Aku sayang kamu yo” ucapku dan mengeratkan pelukanku.
“Aku juga sayang kamu cantik” ucapnya sambil tersenyum


Menurutku kebahagiaan bukanlah ketika kita memiliki semua hal. Tetapi kebahagiaan adalah ketika kita selalu mengucap syukur atas apa yang kita miliki, bahkan dalam segala kekurangan itupun.
-Alyssa

The end-
Cerpen aneh bin ajaib lagi. Dasar penulis aneh, ngebuat cerita yang aneh begini...Maaf, maaf..Tapi makasih ya, yang udah mau menyempatkan waktu untuk baca cerpen aneh ini. Makasih. J

0 komentar:

Posting Komentar