“Via!” gadis itu yang sedang menekuni makanannya pun mengangkat kepalanya
“Eh, ka Alvin. Kenapa kak?”
“Duduk sini boleh?” Via pun hanya mengangguk membiarkan Alvin duduk tepat di hadapannya.
“Yang lain mana kak?”
“Rio lagi sama Zahra, Iel lagi nganterin Ify pulang, Ray sama Cakka nggak tau ke mana” Via hanya meng’o’kan mulutnya. “Kenapa? Nggak pengen gue di sini ya?”
Via menggeleng kuat. Bukan, bukannya ia tak ingin. Ia bahkan sangat senang Alvin duduk bersamanya. Ia hanya merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, karena itu ia membutuhkan siapa saja untuk mengalihkan rasanya ini.
“Kalo gitu kenapa nanya yang lain?”
“Nggak, kan kakak biasanya rame2, nggak pernah sendiri”
“Yaah, gue juga punya privacy” ucap Alvin sambil tersenyum tipis memandang Via yang ada di hadapannya. Memandangi bidadari cantik yang turun ke bumi dan datang ke hatinya. “Vi, gue lagi suka sama satu cewek. Tapi gue nggak tau dia suka sama gue atau nggak. Gue harus gimana ya?”
Via terdiam. Ah, siapa gadis beruntung yang disukai Alvin ini. Ia menarik nafasnya dalam, mencoba menetralisir rasa sakit yang tiba2 saja muncul ketika Alvin mengatakan itu. Andai saja, ia adalah gadis itu, mungkin ia akan sangat bahagia. Tapi ia sadar, pasti bukan dirinya
“Hmm, liat aja dari gelagatnya. Apa dia nunjukkin perhatian sama kakak atau nggak. Atau buat dia cemburu kak. Misalnya kakak dekat2 sama cewek lain, Cuma buat liat reaksinya aja”
“Tapi gue takut kalau dia mikir, gue nggak sayang sama dia”
“Hmm, sepintar-pintarnya cewek nyembunyiin perasaan, pasti akan tetap terlihat dari sorot matanya kak”
“Gitu ya? Thanks ya vi. Enak juga duduk sama lo, lo bisa jadi guru cinta gue” ucap Alvin sambil terkekeh. Namun berbeda dengan Via yang tersenyum tipis, sangat tipis. Bahkan hanya dirinya saja yang tau bahwa ia sedang tersenyum.
“Sama2 kak”
“Sebagai tanda terima kasih, gimana kalau pulangnya gue anterin lo pulang”
“Jangan ah kak. Nggak mau ngerepotin”
“Kan sebagai tanda terima kasih gue”
“Ntar gebetan kakak, kabur lagi”
“Kan katanya pake taktik ngebuat jealous”
“Heuh..Iya deh. Terserah kakak aja. Via mah ikut aja” Alvin tersenyum tipis. Sebenarnya bukan sebagai tanda terima kasih. Ia hanya ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama via. Ia juga hanya ingin mengantar bidadari hatinya ini pulang ke rumah dengan selamat.
*****
Berbeda dengan Via, Shilla saat ini sedang tertawa mendengar kekonyolan Ray. Ia bahkan tak mengerti bagaimana bisa merasa begitu nyaman dengan adanya Ray di sampingnya. Ia bahkan masih tak mengerti bagaimana bisa ia dan Ray ada di taman ini.
“Udah ah ka, Shilla sakit perut ketawa terus”
“Siapa suruh mau ketawa terus”
“Siapa suruh ka Ray ngelawak”
“Duh, jangan manggil kak dong. Gue serasa tua. Padahal wajah gue kan masih imut2 begini” ucap Ray sambil mengedip-kedipkan matanya
“Diiiih...geli banget...imut dari mana? Tua sih iya”
“ngaku aja deh shill, gue emang imut dan cakep kan?” tanya Ray sambil menaikturunkan alisnya
“Iya deh, terserah ka Ray aja”
“Jangan pake kak”
“Udah kebiasaan ka”
“Yah, biasain manggil Ray aja”
“Tapi kan nggak enak, masa semua teman2 gue manggil ka Ray, gue manggilnya Ray aja. Sok dekat banget gue”
“Kalo mereka emang wajib manggil gue kak. Kalo lo, khusus nggak boleh manggil gue kak. Lagian lo bukan sok dekat kok, lo emang dekat kan sama gue” ucap Ray membuat Shilla tertegun. Ah, apalagi ini. Mengapa ia merasa darahnya berdesir cepat mendengar kata2 Ray. Dapatkah ia berharap lebih pada Ray? Atau Ray hanya menganggapnya adik saja?
“Hmm, iya deh ka..eh Ray”
“Nah gitu dong. Itu baru namanya Shilla” ucap Ray dan mengacak rambut Shilla lembut. Ini sama sekali tak pernah dialami Shilla. Ia bahkan belum pernah sedekat ini dengan cowok. Teman2 cowok di kelaasnya pun tak sampai seperti ini. Palingan, ia hanya mengobrol dan bercanda biasa. Tapi ini berbeda. Dan mengapa saat ini Shilla melihat Ray sebagai sosok yang lain? Dulu Shilla hanya menganggap Ray adalah anak band, teman Rio dan Iel, yang dekat dengan Ify. Just it. Hanya itu. Mengapa ia sekarang melihat Ray sebagai sosok dewasa yang dapat dijadikan tempat bersandar? Mengapa ia melihat Ray sebagai sosok yang dapat diandalkan? Mengapa ia melihat Ray sebagai sosok yang dapat mengisi ruang hati Shilla yang kosong?
“Shill” ucap Ray sambil menggerak-gerakan tangannya di depan mata Shilla.
“Eh”
“Kok bengong sih ngeliat gue? Udah kena pesona gue ya?” ucap Ray narsis membuat Shilla menoyor kepala Ray
“Dih, narsisnya nggak ketolongan”
“Hehe. Makanya lo tolongin dong. Kenarsisan gue Cuma bisa ditolong sama cewek cantik kayak lo” Lagi, lagi, dan lagi ucapan ray membuat Shilla terpaku.
“Iye, jadi nggak narsis lagi tapi sok gombal.” Sahut Shilla membuat Ray tertawa.
“Btw, lo udah punya cowok Shill?”
“Belum. Kenapa emang? Mau daftar jadi calonnya?”
“emang masih buka pendaftarannya?”
“Masih, tapi ada syaratnya”
“Apa sih syaratnya?”
“Kalo pas nembak gue, harus beliin gue boneka Panda yang gedeee banget + 100 tangkai bunga mawar putih. Terus orangnya harus romantis. Bukan kayak lo Ray, lo mah nggak ada romantis2nya, berarti lo nggak bisa mendaftar” ucap Shilla santai, namun beberapa detik kemudian ia merutuki kata-kata yang baru saja ia keluarkan. Mengapa ia melakukan kesalahan bodoh seperti itu? Tapi jika ia mengatakan itu pun tak akan berpengaruh besar pada Ray kan? Toh Ray juga tak menyukainya. Tanpa Shilla sadari, ada perubahan ekspresi di wajah Ray, yang tak bisa diartikan. Hanya Ray yang tau.
******
“Yeeeey. Menang lagi” sorak Agni ketika ia baru saja menyelesaikan pertandingan basket melawan Cakka, kekasihnya sendiri
“Itu kan karena gue yang ngalah”
“Halah, ngaku kalah aja susah”
“Iya, iya, gue selalu kalah basket sama lo” ucap Cakka akhirnya dan duduk di sebelah Agni yang duduk di tengah lapangan. Mereka berdua memang berada di sebuah lapangan tua yang sudah lama tidak digunakan oleh sekolah, karena sekolah mereka sudah memiliki gedung olahraga sendiri. Oleh karena itu, lapangan ini yang letaknya memang agak jauh dari gedung sekolah tidak terawat lagi, dan jarang yang datang ke sini. Atau mungkin lebih tepatnya, tidak ada yang tau. Lapangan ini pun ditemukan secara tidak sengaja oleh Cakka
“Nih” ucap Agni sambil menyerahkan sebotol air minum pada Cakka. Tak butuh lama, Cakka telah meneguk seluruh isi botol itu.
“Thanks” ucap Cakka, sedangkan Agni mengambil sapu tangannya, menghapus keringat Cakka. “Duh, pacar gue perhatian banget sih. So sweeet deh” Agni langsung mendorong wajah Cakka dengan sapu tangannya itu
“gue perhatian salah, gue nggak perhatian salah. Maunya apa sih?” rengut Agni
“Hehehe. Lo cukup jadi diri lo sendiri kok. Gue sayang sama lo, apa adanya, bukan ada apanya.” Ucap Cakka sambil tersenyum membuat Agni menyandarkan kepalanya di bahu Cakka, Cakka mengalungkan tangannya di bahu Agni.
“Gue juga sayang sama lo Cakk. Lo janji ya, jangan pernah ninggalin gue.” Cakka mengecup puncak kepala Agni
“Gue, Cakka Kawekas Nuraga berjanji nggak akan pernah ninggalin Agni” Agni pun memeluk Cakka dari samping *ngerti maksud gue nggak*
“Hmm, Cakk gue jadi inget Rio-Ify-Iel”
“kenapa emang?”
“Ntah bagaimana, gue ngerasa Rio sama Ify saling menyayangi. Tapi yang nggak gue ngerti dan ngebuat gue cukup kaget adalah Ify jadian sama Iel.”
“Jangan ngaco ah, say”
“gue nggak ngaco. Gue Cuma ngeliat tatapan Rio-Ify aja. Yang gue yakini tatapan Ify ke Rio berbeda dengan tatapan Ify ke Iel. tatapan Ify ke Iel tuh terlihat Cuma sebatas kakak. Sedangkan tatapan Ify ke Rio lebih dalam.”
“Kita biarin aja mereka selesaikan masalah mereka.” Agni pun mengangguk
“Say, lo bau banget deh”
“Cakkaaaa” teriak Agni membuat mereka berkejar-kejaran di lapangan.
“Hahaha..Ampun say, ampun” ucap Cakka yang berbaring di tengah lapangan, sedangkan agni masih saja belum puas menggelitik Cakka
“Bodo. Siapa suruh.” Cakka langsung menahan tangan Agni, dan menarik Agni sedikit ke arahnya. Membuat Agni menindih tubuh Cakka. Tatapan mata mereka begitu dalam, seolah dari tatapan, sudah dapat mengatakan segala yang ingin mereka lakukan. Cakka mendekatkan wajahnya pada Agni, Agni pun mendekatkan wajahnya, membuat jarak di antara mereka berdua begitu tipis. Keduanya menutup mata. Sentuhan lembut dari bibir Cakka dapat dirasakan Agni tepat di bibirnya.
Teng..teng...teng...
Bunyi bel membuat mereka berdua tersadar, kemudian melepaskan pelukan mereka. Duduk di tengah lapangan. Terdiam, dengan wajah memerah.
“Maaf” ucap keduanya secara bersamaan
“Maafin gue ya ag, seharusnya gue...”
“Hmm, nggak apa-apa kok. Yuk balik ke kelas” ucap Agni tipis. Cakka pun mengangguk kemudian menggenggam tangan Agni lembut, menunjukkan bahwa ia benar2 tidak ingin kehilangan Agni, ataupun ia tidak akan meninggalkan agni
******
“Udah nyampe fy”
“Makasih ya.”
“Apa sih yang nggak buat kamu” ucap Iel sambil tersenyum manis
“Mau masuk dulu nggak ka?”
“Hmm boleh deh” Iel pun memarkirkan motornya kemudian mengikuti Ify ke dalam.
“maaf ya ka, gara2 aku, ka Iel jadi bolos pelajaran”
“Nggak apa2 sayang. Yang penting kamu nggak apa2” ucap Iel sambil menggandeng tangan ify.
“Mau minum apa ka?”
“Nggak usah repot2 sayang, kamu kan lagi sakit” Ify menggeleng pelan
“Nggak kok”
“Air putih aja deh” Ify mengangguk dan membiarkan Iel duduk di taman belakang rumahnya. Ify telah memegang segelas air putih untuk Iel, namun ia terhenti ketika mendengar mamanya sedang mengobrol dengan seorang laki-laki
“Ma.” Panggil Ify pelan, namun membuat mamanya tersentak
“Ify kamu udah pulang?”
“Tadi ify nggak enak badan, makanya pulang.”
“Dianterin siapa?”
“Ka Iel, pacar Ify. Ini siapa ma?” tanya Ify yang tak melepaskan pandangannya pada sosok laki-laki yang ada di hadapannya.
“Ini om Doni.” Ify mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan
“Ini?” tanya laki-laki itu dengan suara serak seperti menahan tangisannya sendiri
“Ini Ify.” Ucap mama Ify pelan, bahkan seperti bisikan “anakmu” tambah mamanya membuat Ify dan laki-laki yang ada di hadapannya itu terpaku. Papa ify atau bisa dikatakan papa Rio juga langsung memeluk Ify. Ify sama sekali tak membalas pelukannya. Tangannya seperti mati rasa, bahkan hatinya pun tak dapat berkata apa2 melihat semua yang ada di hadapannya. Mengapa semua ini terlihat begitu tiba-tiba. Tangan Ify bergetar, menunjukkan apa yang ia rasakan. Antara sedih, marah, bahkan takut untuk melangkahkan kakinya menghadapi dunia yang terlihat begitu kejam baginya. Masih belum cukupkah semua kenyataan pahit yang ia terima kemarin, mengapa masih harus ada yang lain? Papanya pun mengendorkan pelukannya.
“Aku pergi dulu ma...om” ucap Ify bahkan tak melihat kedua orang yang ada di hadapannya. Tatapannya kosong. Tak ada air mata, tak ada amarah, ia benar2 mati rasa. Tak tau apa yang harus ia lakukan lagi. Ia berjalan ke halaman belakang menemui Iel.
“Ini ka”
“Makasih fy” ucap Iel dan langsung meneguk air di gelas itu. “Kamu kenapa?” tanya Iel ketika melihat ekspresi Ify yang tak bisa diartikan
“Nggak, Cuma cape aja kak” ya, ia lelah. Bukan karena ia sedang sakit, tapi ia lelah dengan semua yang ia hadapi.
“Kalau gitu aku pulang aja ya, kamu istirahat yang cukup” ucap Iel sambil menepuk puncak kepala Ify. Ify hanya tersenyum kemudian mengangguk. “Aku pulang dulu ya.”
“Hati2 di jalan ka” Iel mengangguk kemudian berjalan ke arah parkiran. Ia berhenti kemudian berbalik menatap Ify
“Hmm, fy. Tadi aku ngelihat papanya Rio ada di ruang tamu. Dia ngapain di sini?” Ify tercekat, tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, karena jauh di lubuk hatinya ia masih berharap bahwa ini semua hanya mimpi dan ia akan bangun dari semua mimpi buruk ini suatu saat nanti
“teman kantor mama” Iel pun mengangguk mengerti, walaupun ntah bagaimana ia masih merasa bahwa ini tak sesederhana itu
“Aku pulang ya. Bye.” Iel pun pergi dan benar2 menghilang dari hadapan Ify. Ify masuk lagi ke rumahnya. Namun, tampaknya mamanya dan papa Rio telah pergi. Ia mendesah. Ia masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya, kemudian memeluk boneka tedy bear yang dulu diberikan Rio padanya. Apa yang ia rasakan saat ini? ntahlah ia bahkan tak bisa mendefinisikan apa yang ia rasakan saat ini. Lagi, lagi ia memilih untuk memejamkan matanya, tertidur dan ketika ia bangun semuanya akan kembali normal.
*******
“Makasih ka, udah anterin Via”
“Iya sama2. Lo masuk dulu, baru gue pulang” ucap Alvin yang akhirnya membuat Via masuk ke rumahnya. Ada seorang laki-laki tinggi membukakan pintu untuk Via, membuat Alvin tertegun.
‘dia’ batin Alvin. Ia rasa ada sesuatu yang harus dijelaskan. Ia memasang helm-nya lagi. Semua kenangan dulu menyeruak kembali ke dalam dadanya. Mengapa ia harus bertemu dengan orang itu lagi. Mengapa dunia begitu sempit? Mengapa ketika ia jatuh cinta, ia harus dipertemukan dengan orang yang membuatnya mengalami mimpi buruk selama bertahun-tahun. Oh, bukan mimpi buruk, namun kesepian yang begitu dalam. Kemudian ia menstarter motornya. Ada sesuatu yang harus dijelaskan
*******
“Saya tidak menyangka bahwa Ify sudah sebesar itu”
“...”
“Saya tidak menyangka bahwa sudah begitu lama saya tak bertemu dengan Ify. Ah, bukan hanya Ify, saya bahkan tidak begitu perduli dengan Rio, karena sibuk bekerja. Apa yang harus saya lakukan, manda ?” tanya pak Doni, papa Rio dan Ify putus asa.
“Ubah semuanya. Kamu tidak akan pernah bisa kembalikan waktu, namun kamu bisa merubah semua sikap kamu dengan waktu yang ada sekarang” saran bu manda, mama Ify, pelan.
“Yah, saya rasa kamu benar. Tapi saya sudah begitu mengecewakan mereka, bahkan saya melakukan kesalahan besar, sampai mereka berdua bisa jatuh cinta”
“Katakan yang sebenarnya pada mereka Don, saya mohon.” Ucap mama manda, sambil terisak
“Tidak bisa seperti itu manda, mau taruh di mana nama besar keluarga Haling, jika saya mengatakan yang sebenarnya”
“Itu tidak akan berpengaruh pada nama besarmu! Ini menyangkut Rio dan Ify, Don. Apa kamu tega membiarkan mereka menderita? Apa kamu tega membiarkan mereka menekan perasaan mereka sendiri? Di mana hati kamu sebagai seorang ayah? Di mana Don? Atau yang kamu pikirkan hanya nama besar haling?” bentak mama manda
“Apa kamu juga tidak pernah memikirkan perasaan Rio, jika mereka tau yang sebenarnya? Apa kamu tega sebagai seorang Ibu membiarkan anakmu sendiri terluka hah?” tanya pak Doni tak kalah sengit
“Saya tidak tau harus melakukan apalagi Don. Saya merasa semuanya serba salah Don”
“hh, kita pikirkan jalan yang lebih baik untuk mereka. Oh ya, bagaimana jika kita makan malam bersama nanti?”
“Untuk apa?”
“Hanya untuk saling mengenal, dan membiarkan semuanya terungkap secara perlahan. Mereka masih terlalu labil, jika mengetahui yang lebih pahit dari kenyataan ini”
Mama manda pun hanya bisa mengangguk mendengar perkataan papa Doni. Apa yang harus ia katakan, ia sendiri bahkan kehilangan semua kata-katanya..
Bersambung..
Huaaa..makin aneh nih cerbung. Nggak tau mau menyelesaikan cerita ini kayak gimana. Maaf, lagi nggak ada ide. Oh ya, kali ini Ify_rio_iel dikit, soalnya selama ini mereka yang paling banyak. Jadi mau ceritain yang lain dulu. Sebenarnya sih mau ngaku dosa, kalau penulis lupa ada tokoh via, Shilla, Ray, Cakka, Agni yang harus dibahas. Oleh karena itu, part ini khusus untuk mereka. Hehehe...
Gimana kelanjutannya? Rify? Fyel?
Apa yang disembunyikan orang tua Rify? Bagaimana acara makan malamnya?
Gimana hubungan Alvia? Siapa yang sebenarnya dilihat Alvin?
Apa yang sebenarnya dirasakan Ray pada Shilla?