Ka, gue tunggu lo di lapangan basket kompleks sekarang. Ada yang mau gue omongin.
Rio menatap HP-nya berkali-kali. Ada perasaan nggak enak yang ia rasakana. Ia merasa bahwa sesuatu yang akan dibicarakan Ify, bukanlah hal yang cukup menggembirakan. Ntah untuk kesekian kalinya Rio berjalana mondar-mandir di kamarnya. Sudah 1 jam lewat dari waktu janjuan. Akhrinya Rio pun mengambil kunci mobilnya dan jaket
“Ma, Rio pergi bentar ya ketemu temen.”
“Jangan malam2 ya yo” Rio pun mengangguk kemudian segera keluar dan memacu mobilnya.
Sesampainya di lapangan basket, tak susah untuk Rio mencari sosok Ify. Ify duduk di salah satu bangku penonton yang paling tengah. Tempat paling enak buat nonton pertandingan basket. Rio datang dan langsung memakaikan jaketnya ke Ify yang nampak kedinginan. Ify sedikit tersentak dengan kedatangan rio yang tiba2.
“Gue kira lo nggak bakal datang ka”
“Kalo lo mikir gitu, berarti lo belum kenal gue dengan baik” ujar Rio dan duduk di samping Ify
“Ka..” panggil Ify namun masih memandang ke depan. “Gue salah nggak kalau gue bilang, gue sayang sama lo”
Wajah Rio menegang, rahangnya mengeras, jantungnya berdebar cepat, namun sedetik kemudian Rio tersenyum begitu tulus
“Kok bisa?” tanya Tio
“Emang nggak boleh?”
“Cuma kayaknya pertama kali kita kenal, gue jahat banget sama lo. ”
“Emang sih. Gue juga bingung. ” ucap Ify
“Lo liat nggak ayunan di sana itu?” tanya Rio sambil menunjuk salah satu sudut. Nampak ayunan yang cukup tua. Catnya sudah terkelupas, kayunya pun sudah retak, talinya terlihat usang hampir putus, dahan pohonnya pun nampak rapuh “Dulu, gue suka main sama adik gue di sana”
“Ka Rio punya adik?” tanya Ify tak percaya.
“Begitulah. Tapi itu dulu, sekarang udah nggak”
“Ka Rio aneh deh. Masa dulu bisa jadi ade, sekarang nggak?”
“Karena mungkiin adik gue sendiri nggak kenal sama gue. Gue terpisah sama dia 12 tahun lalu. Saat gue berumur 5 tahun dan dia 4 tahun.”
“Kok bisa?”
“Entahlah. Gue juga nggak tau harus nyalahin siapa. Dulu gue nyalahin orang tua gue, atau mungkin sampai sekarang” Rio dan Ify terdiam. Begitu banyak tang ingin Ify tanyakan, namun ia lebih memilih diam dan membiarkan Rio bercerita “Lo tau nggak kenapa gue menceritakan hal ini ke lo?” Ify menggeleng lemah
“Karena lo adalah adik gue yang terpisah 12 tahun lalu” Ify terdiam, wajahnya memucat
“Ngggak. Ini nggak mungkin. Lo pasti boongin gue.” desis Ify “Kalo lo mau nolak gue, bilang aja secara langsung. Nggak usah ngarang cerita nggak bermutu kayak begini” bentak Ify
“Gue nggak ngarang fy. Kenapa sampai gue ngejauhin lo waktu pertama kali lo kenalin diri, karena nama belakang lo adalah nama mama gue, yang juga mama lo.”
“Kenapa gue nggak ingat apapun?”
“Waktu umur lo 5 tahun, lo sempat tertabarak . Ingatan masa sebelum kecelakaan itu hiland. Dan mama nggak mau ngungkit itu di hadapan lo. Kalau lo nggak percaya, lo bisa minta penjelasan yang lebih lengakap dari mama” Ify terdiam. Matanya terasa panas. Rio menatap Ify, hatinya nggak karuan. Ada rasa bersalah membuat orang yang ia sayang menangis. Rio menghapus air mata ify dengan jarinya. Isakan tangis Ify tetap terdengar. Entah dorongan dari mana Rio memeluk Ify, membiarkan Ify menangis dan meluapkan semuanya.
“Lupain gue. Buka hati lo buat iel. Dia lebih pantas daripada gue. Ayo gue antar lo pulang” tanpa bicara lagi, Ify hanya pasrah ditarik oleh Rio. Harus senangkah ia memiliki kakak seperti Rio? Atau ia harus sedih karena ia dan Rio tak bernah bisa bersatu? Seandainya, ia dan Rio bukanlah saudara kandung, apakah Rio mempunyai perasaan yang sama dengannya? Apakah ia harus membuka hatinya pada Iel? Apakah bisa ia melakkan semua itu? Pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari di benak Ify. Harus bagaimanakah ia sekarang?
Ify hanya tersenyum tipis, karena ia sudah diantar sampai di rumahnya. Tanpa berkata-kata lagi, Ify berjalan meninggalkan Rio dan langsung masuk ke rumahnya
“Sorry fy, I don’t have another choice.” Batin Rio. Semuanya terasa begitu pahit. Bahkan ia merasa bahwa ini salah satu tindakan paling bodoh yang pernah ia lakukan, atau mungkin tindakan paling benar. Tanpa Ify tau, seluruh hatinya hanya untuk Ify. Namun, ia tepis semua keinginannya. Ia pun melajukan mobilnya kembali ke rumahnya
“Ify kamu baru pulang?” tanya mamanya. “Kamu kenapa sayang?” tanya mamanya lagi ketika melihat wkspresi anaknya yang nampak tidak bersemangat
“Ify adik Rio” mamanya tersentak dengan ucapan Ify
“Ka..kamu tau dari mana?”
“Jadi itu benar?”
“Fy..”
“Ceritain semuanya fy. Semuanya yang ngggak Ify ingat. ”ucap Ify masih tak memandang mamanya.
“Dulu, sampai kamu bermur 3 tahun, semuanya baik-baik saja fy. Nggak ada masalah, kita merupakan keluarga bahagia. Namun, papa kamu selingkuh dengan wanita yang dulunya merupakan cinta pertamanya. Mama dan papa sering bertengkar. Akhirnya kami memutuskan untuk berpisah saat kamu berumur 4 tahun. Pengadilan memutuskan papamu yang berhak atas kamu dengan Rio. Karena saat itu mama nggak memiliki perekonomian yang bagus seperti papamu. Namun, saat umur 5 tahun kamu kecelakaan, mama marah sama papamu. Menurut mama, dia dan isterinya yang sekarang nggak berhasil menjagamu. Mama menuntut ke pengadilan, agar kamu dan Rio bisa bersama mama yang kebetulan perekonomian mama sudah cukup. Sayangnya, pengadilan hanya memutuskan kamu yang ikut sama mama. Mama pun tidak mau mengungkit semua masa lalu itu, karena mama nggak mau kamu menderita. Rio sampai saat ini marah sama mama karena mama memisahkan kamu dengannya. Adiknya yang paling ia sayang. Maafin mama fy”
“Kenapa mama nggak cerita sama Ify dari awal? Kenapa mama ngebiarin Ify menumbuhkan perasaan sayang ke ka Rio, yang seharusnya kakak Ify? Kenapa ma?”
“Maafin mama sayang. Kamu harus tau kenapa mama membiarkan kamu, karena Rio...”
“Nggak. Ify tau, mama mau bilang itu untuk kebaikan Ify sendiri. Yah, dan semua ini juga salah Ify. Mama nggak salah apa2” Ucap Ify sambil terisak kemudian masuk ke kamarnya, dan mengunci pintunya dari luar. Ia terduduk di tepi tempat tidur. Serumit itukah hidup yanh telah ia lewatkan? Sesulit itukah untuk mengakui kenyataan itu? Apakah tak ada pilihan lain? Apakah ia tidak boleh memilih, bahwa ini hanyalah sebuah mimpi buruk, di mana keesokan pagi ia dapat bangun? Ia menangis dalam diam. Apakah yang harus ia tangisi? Apa yang ia sesali? Apa yang harus membuatnya marah seperti ini? Karena perasaannya tak terbalas oleh Rio? Bukan.. Bukan hanya karena itu. Ini bukan masalah cinta. Ini lebih rumit. Ini masalah kenyataan yang ditutupi darinya. Kenyataan yang seharusnya ia tahu walaupun sepahit apapun. Namun, menerima semuanya tak akan pernah semudah membalikkan telapak tangan. Tak akan semudah kita mengucapkan teori tanpa praktek apapun.
Sementara itu di rumah Rio
“RIO, KENAPA MALAM BEGINI BARU PULANG?”
“papa mau tau?”
“APA-APAAN MAKSUD KAMU?”
“Rio ketemu sama adik Rio pa. Alyssa Saufika Umari. Papa masih ingat anak papa yang satu itu? Atau jangan-jangan papa udah lupa?” Wajah papa Rio pucat. Sudah begitu lama tak mendengar kabar tentang anaknya yang satu itu. Tubuhnya lunglai, sehingga bertopang pada kursi terdekat. Rio langsung pergi meninggalkan papanya yang masih shock mendengar kabar itu
Keesokan harinya, nampak wajah Rio begitu kusut. Lingkaran hitam begitu sempurna di bawah matanya menunjukkan ia tak tidur semalam. Tak berbeda jauh dengan Rio, Ify pun demikian. Padahal selama ini, seberat apapun masalahnya, ia tak akan pernah menangis seperti semalam. Rasanya, air matanya telah habis. Pelajaran seharian pun nampak tak masuk sama sekali di otaknya.
“Yo, kenapa lo? Tampang lo kusut gitu?” tanya Iel
“Nggak bisa tidur gue semaleman”
“Kenapa?”
“karena gue cakep”
“Nggak nyambung yoo” Rio hanya nyengir, brharap dengan demikian dapat sedikit menutupi masalahnya “Cakka, Ray mana?”
“Pada telat katanya” Rio hanya meng’o’kan mulutnya
“Yel, latihan sono sama Ify.” Ucap Alvin sambil menunjukkan Ify dengan dagunya. Iel pun mengangguk kemudian berjalan ke arah Ify. Rio memandang Ify dan Iel yang sedang latihan diselingi dengan tawa. Ntah perasaan apa yang muncul di hatinya. Senangkah? Atau malah sebaliknya? Rio mendesah berat.
“Kenapa lo deket-deket gue? Ngeliatin gue kayak gitu lagi. Jangan2 lo...” pekik Rio yang melihat Alvin duduk di sebelahnya dan menatapnya lekat. Toyoran dari Alvin pun diterima Rio
“Enak aja lo.”
“Kalo nggak lo ngapain di sini?” Alvin tak menjawab, ia malah memandang Ify. Rio memang sudah tau maksud Alvin dari awalnya. Alvin memang yang paling mengerti dirinya. Hampir semua masalahnya ia ceritakan pada Alvin. Dan ia juga tau, Alvin adalah tipe orang yang tidak ingin memaksa orang lain untuk menceritakan masalahnya. Namun, Alvin paling mengerti kalau seseorang memiliki masalah. Seperti sikapnya saat ini, yang duduk dekat Rio dan memandang Ify, Rio tau bahwa Alvin siap mendengarkan keluh kesahnya “Gue ceritain di luar” putus Rio akhirnya membuat Alvin tersenyum puas
“Yel, fy, gue sama Rio keluar bentar dulu yah. Kalian berdua latihan aja dulu. Yel, jangan diapa-apain si Ify”
“Iyee....” bales Iel. Alvin dan Rio pun langsung keluar menuju tempat rahasia yang paling suka mereka kunjungi jika ada masalah. Tempat itu berbatasan dengan gedung SMP lama. Oleh karena itu, jarang yang melewati tempat itu
“Jadi?” tanya Alvin
“Jadi....” Rio pun menceritakan semuanya, tanpa kurang 1 hal pun. “Rumit. Gue nggak tau harus kayak gimana vin. Gue nggak punya pilihan lain. Gue Cuma menjalankan apa yang sebelumnya udah gue pikirkan akan terjadi. Gue sama sekali nggak bisa mengingkari kenyataan. Hidup gue seperti sudah ditentukan untuk lewat jalan berkelok-kelok itu saat gue ingin menjalani hidup di jalan yang lurus”
“Lo emang nggak bisa mengingkari kenyataan yo. Tapi, lo selalu punya pilihan kok untuk menjalani hidup ini. Hanya saja dari sudut mana lo melihat masalah, bagaimana lo melihat dampak buruknya bukan Cuma buat lo tapi buat orang di sekitar. Jika lo melihat dari sudut yang berbeda, lo punya pilihan yang berbeda, yang mungkin dapat mengubah hidup lo walaupun hanya sedikit ”
“Maksudnya gue punya pilihan antara menganggap Ify sebagai adik gue, atau gue melupakan semuanya dan berpacaran dengannya?” ucap Rio dengan sedikit sinis
“Itu juga termasuk pilihan. Tapi apakah lo bisa pacaran sama adik kandung lo sendiri? Semuanya tergantung kata hati lo aja yo. Misalnya, lo punya pilihan untuk memusuhi dan menyalahkan orang tua lo, atau malah menyayangi dan menerima semua kenyataan. You always have a choice yo. Just look into your heart and find the answer. You can get the answer better than my advice.” Ucap Alvin membuat Rio terdiam.
“Jadi gue harus membuang perasaan sayang gue ke Ify dan menganggap dia benar2 adik gue?”
“Gue rasa masalahnya nggak se-simple itu. Gue rasa bukan Cuma masalah lo sama Ify doang. Tapi masalah lo, Ify sama orang tua lo yang harus diselesaikan. ” Rio terdiam. Yah, dia terlalu egois karena hanya memikirkan bagaimana hubungannya dengan Ify tanpa memikirkan orang tuanya maupun perasaan Ify sendiri.
“Thanks vin. Lo emang paling ngertiin gue”
“What friends are for.” Ucap Alvin “Udah, masuk yuk. Lo nggak mau kan, adik lo diapa-apain sama Iel” Rio hanya tersenyum tipis kemudian mengikuti Alvin ke studio mereka.
“Dari mana aja yo, vin? Lama banget? Kita udah nungguin buat latihan lagu kedua.” Ujar Iel yang sudah bersama Cakka, Ray, dan ditemani Agni dan Zahra
“Biasa, gue pacaran dulu sama Alvin” ucap Rio sambil merangkul Alvin. Alvin dengan sigap menoyor Rio
“Yeuuh..”
“Udah ah. Latihan aja yok. Gue udah ngantuk nih.” Ajak Iel. Yang lain pun menyanggupi.
Setelah 2 jam, akhirnya mereka pun selesai latihan. Semuanya membereskan alat musik masing-masing.
“Yah...” ucap Zahra
“Kenapa ra?” tanya Agni
“Supir gue nggak bisa jemput. Gimana dong? Gue masih nggak terlalu inget jalanan di jakarta”
“Ra, bukannya gue nggak mau, tapi gue udah terlanjur janjian sama Via.” Ucap Alvin
“cieeee, gencar banget sih PDKT-nya” Alvin hanya menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali nggak gatal
“Gue juga nggak bisa Ra, gue nganterin Agni”
“Maaf ya ra, gue udah terlanjur janji sama nyokap” ujar Ray. Zahra nampaknya mulai putus asa, ia memandang Iel setengah berharap.
“Biar gue aja ra, yang nganterin lo. Si Iel pasti nggak bisa, dia kan mau nganterin Ify” ucap Rio. Iel hanya nyengir. Nampak sedikit kekecewaan di wajah Zahra, namun ia tutupi dengan sebuah senyum manis
“Emang nggak ngerepotin yo?”
“Nggak kok Ra. With my pleasure, princess”
“Ehm, gue rasa ada yang lagi ngerayu nih” ucap Ray yang disetujui dengan anggukan lainnya kecuali Ify. Ada rasa aneh yang menjalar melihat Zahra diperlakukan begitu istimewa khususnya oleh Rio
“Huaaa thanks ya yo. Gue nggak tau gimana hidup gue tanpa lo.”
“Udah ah. Jalan yuk. Jangan kelamaan” ucap Ify akhirnya yang dari tadi lebih memilih diam. “Duluan ya semuanya. Bye.” Iel pun langsung mengikuti Ify dari belakang. Rio? Ia sama sekali tak mau melihat ke arah Ify. Ia hanya mencoba menjaga perasaannya, sehingga pengakuan Ify sebagai adiknya akan lebih mudah.
Bersambung...
Nah loh? gimana nih? apa yang terjadi selanjutnya antara Rio dan Ify??