Sabtu, 05 Februari 2011

Bertahan - cerpen

                                “Selamat ulang tahun fy” ucap Iel, sahabatku. Aku memutar bola mataku.
                “Ieeel, ulang tahunku 6 bulan yang lalu, dan kamu baru mengingatnya sekarang? Keterlaluan!” ucapku sengit.
                “Maap fy, maap. Aku bener2 lupa.”
                “Iya, iya, aku maafkan. Aku juga tau kamu lagi sibuk pdkt sama Via” Iel pun nyengir
                “Hmm, sebagai permintaan maafku, gimana kalo..”
                “Nggak bisa yel. Aku harus rapat sekarang. Kamu tau kan, sebentar lagi angkatan baru akan masuk, dan aku harus mempersiapkan semua itu” potongku cepat
                “hhh..susah yah, punya teman tapi sibuknya luar biasa”
                “Aku pergi ya.” Aku pun meninggalkan Iel sendiri. Ini sudah ketiga kalinya dia melupakan ulang tahunku dan sudah ketiga kalinya aku memaafkannya begitu saja. Aku tak mengerti mengapa, aku tak bisa memarahinya atau membencinya. Sudah 3 tahun berturut-turut, saat ulang tahunku aku selalu menunggu telepon atau sms darinya. Aku selalu menatap HP-ku, sampai keesokan harinya, dan akhirnya aku menyerah. Padahal aku masih mengingat jelas, bagaimana ia merancangkan surprise party untuk ulang tahunku, waktu tahun pertama aku masuk kampus. Yah, sudah 4 tahun aku menjadi mahasiswa, dan sebentar lagi, aku akan lulus dari sini. Terkadang aku berharap, agar secepatnya lulus, meninggalkan kampus ini sehingga aku tak bisa bertemu dengan Iel lagi. Tapi terkadang aku ingin lebih lama lagi bersama sahabat-sahabatku di kampus ini. Aku, Cakka, Gabriel dan Rio. KIta berempat baru bersahabat, sejak menjadi mahasiswa. Gabriel dan Rio sahabat dari SMA, sedangkan aku maupun Cakka baru mengenal mereka. Aku jadi ingat, bagaimana reaksi teman2 seangkatanku maupun angkatan di bawahku begitu sebal, karena aku memiliki sahabat-sahabat yang cakep seperti mereka. Cakka menjadi sahabat buat berantem. Ia akan selalu mengatakan atau melakukan hal-hal aneh yang seharusnya nggak pernah terjadi pada mahasiswa tingkat akhir. Aku tak mengerti, kenapa Agni, adik kelasku bisa menyukainya. Well, aku memang harus mengakui bahwa terkadang Cakka memang dewasa, bahkan bisa mencetuskan ide-ide briliant. Namun sekali lagi harus ku tekankan, itu hanya ‘TERKADANG’. Rio, manusia kulkas kalo kata teman2ku yang lain. Rio nggak pernah senyum buat orang2 yang nggak dikenalnya. Dia orang yang serius dan nggak pernah main2. Berbeda 180 derajat dengan Cakka. Namun, mereka bisa saja cocok. Ntah mengapa, aku tak pernah merasakan sifat Rio yang seperti itu. Selama aku bersahabat dengannya, yang aku tau hanyalah Rio yang ramah, penuh perhatian, lembut, namun bisa galak seperti bapak2, kalau seseorang dari kami nggak menaati peraturan. Untuk Iel, aku tak bisa mendeskripsikan sama sekali. Aku tak mau bersikap subjektif. Karena apapun yang buruk padanya, pasti akan ku anggap baik2 saja. Yah, aku tau aku adalah gadis bodoh yang berharap terlalu banyak.
                “IFY...” aku tersentak mendengar panggilan seseorang. Aku menoleh, dan melebarkan mataku.
                “CAKKAAA, KENAPA HARUS TERIAK2?”
                “Kamu sih fy, aku panggilin dari tadi, kamu malah ngelamun.” Aku langsung nyengir.
                “Maap..”
                “Ogah” sahut Cakka yang pura-pura ngambek dan meninggalkanku
                “Hahaha..Kamu sama Cakka emang nggak berubah ya dari dulu. Tetep aja kayak anak kecil”
                “Aku kan emang selalu imuut..” ucapku narsis, membuat Rio menjitakku pelan. Aku pun memanyunkan bibirku.               
“fy, dia baru ucapin tadi?” tanya Rio hati-hati seolah takut membuatku sedih. Aku hanya mengangguk lemah. Aku mengerti apa yang dimaksudkan Rio dengan kata ‘dia’
                “Kamu maafin?” Lagi-lagi aku mengangguk, untuk menjawab pertanyaan Rio “Aku memang sahabatnya dari SMA, tapi aku nggak nyangka dia bisa seperti itu.”
                Aku tersenyum pahit.
                “Sudahlah, lupakan saja. Mending kita ngejar Cakka, supaya dia nggak ngambek” ucapku dan menarik tangan Rio. Tapi Rio malah menahan langkahku.
                “Sampai kapan kamu mau seperti ini terus? Tersakiti tanpa pernah mau menjelaskan padanya” tanya Rio membuatku mendesah. Aku mengangkat bahuku.
                “Entahlah. Mungkin sampai hatiku tak bersisa.”
                “Kenapa sih kamu harus nyiksa diri kamu seperti ini?” tanya Rio gemas dengan kelakuanku
                “Aku nggak menyiksa diriku kok. Kan ada kamu yang selalu menghiburku” Rio melengos dan mengacak rambutku
                “Rio!”
                “Auk ah. Ngeyel sih kalo dibilangin” Aku hanya tersenyum. Aku memang paling dekat dengan Rio. Ia selalu tau masalahku dan ia selalu menghapus air mataku. Ia selalu membuatku tertawa dengan kekonyolannya, namun ia membuatku terharu dengan semua kebaikan dan perhatiannya. Oh, andai saja aku menyukai Rio, bukan Iel. Mungkin semuanya nggak bakal sesulit ini. Mungkin aku bisa dengan mudah menghadapi hidup ini.
                “Kenapa malah bengong di situ sih? Ayo jalan.” Ujar Rio membuatku tersadar dari lamunanku. Aku pun mengikuti Rio yang sudah berjalan mendahuluiku.

                *****
                “Guys, tolongin gue dong. Bantu gue dekor taman di depan sana, buat nembak Dea. Yayaya?” pinta Iel
                “Tapi yel..”
“Oke. Kita bakal bantu kok” ucapku membuat Rio mendelik padaku. Aku hanya tersenyum kemudian menatapnya dengan tatapan ‘aku-nggak-apa-apa-kok’
Di sinilah aku sekarang. Membantu Iel untuk menyiapkan penembakan pada Via. Membuat segala dekorasi yang ada. Bahkan aku pun yang mencetuskan, bagaimana proses penembakan yang seharusnya terjadi. Aku yang membuat segal skenarionya, membuat agar malam ini benar-benar jadi malam yang terindah untuk Iel dan Via, tapi sepertinya bakal jadi mimpi buruk bagiku. Setelah selesai, aku, Rio dan Cakka pun bersembunyi di balik semak-semak.
“Vi, mungkin gue bukan cowok yang sempurna. Mungkin gue nggak seperti yang lo bayangin, tapi inilah gue, mario stevano aditya. Gue sayang sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?”
“Iya yel. Gue mau” jawab Via. Jawaban Via itu sebagai tanda bagiku, Rio dan Cakka untuk membakar kembang api.
“iel, ini sweet banget” ucap via.
Aku yang masih bersembunyi hanya tersenyum, menahan perih yang menjalar di dadaku.
“Cieeee...PJ-nya jangan lupa. Selameet yaaa...” ucapku heboh pada mereka berdua, diikuti ucapan selamat dari Rio dan Cakka. Aku terus tersenyum, dan tersenyum memandangnya. Aku ingin sekali menangis, tapi aku tak bisa. Setidaknya aku tak bisa menangis di hadapannya. Aku tak bisa mengeluarkan semua yang aku rasakan. Aku hanya bisa menyimpannya di dalam hati. Sampai kapan aku harus memendam semuanya? Aku pun merasakan genggaman hangat di jemariku. Aku menatap orang yang berdiri di sampingku. Ia pun hanya tersenyum menguatkanku, seolah tau aku begitu terpuruk.
“Yel, gue sama Ify duluan ya. Have fun. Sekali lagi congrates” ucap Rio kemudian menggandengku pergi dari situ. Yah, itu yang ingin ku lakukan sejak tadi. Namun kakiku terpaku. Takut itu adalah hari terakhir aku melihatnya. Kami sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengantarkanku pulang.
“Thanks” lirihku ketika telah sampai di depan pintu rumahku. Rio pun langsung menarikku dalam pelukannya. Ia mengusap rambutku dengan lembut.
“Keluarin semuanya fy. Nangis fy, kalau itu maumu. Nangis sepuasnya”
“Rio, aku nggak apa2. Sungguh!” ucapku dan mencoba melepaskan pelukan Rio. Namun Rio malah memelukku semakin kencang. Ia seolah tau semua titik kelemahanku. Ia mungkin tau, bahwa jika ia melepaskan pelukannya tadi, aku akan masuk ke kamar, dan akan menangis sendirian. Tak lama air mataku pun mengalir, membasahi bajunya. Aku sesenggukan, menangis dalam pelukannya. Dia bahkan sama sekali tak berbicara. Ia benar2 membiarkan aku menangis, mengeluarkan semua yang ku pendam selama ini. setelah tangisku mereda, ia pun melepaskan pelukannya. Aku mendesah.
“Terkadang aku berpikir, ingin sekali mengatakan semuanya padanya. Namun aku tau, itu adalah tindakan egois. Aku bahagia melihatnya dengan Via” tuturku. Rio pun menatapku tajam seolah ingin mencari kejujuran dari mataku. “Aku nggak bohong. Memang terasa sakit, tapi ia memang lebih baik dengan Via yang sehat, bukan sepertiku yang..” Rio meletakkan telunjuknya di bibirku, agar aku tak melanjutkan kata-kataku.
“Please..jangan dilanjutin ” pintanya.
“Yo, aku Cuma mau bilang, kalau seandainya hari ini kita terakhir bertemu,,”
“Ify, jangan ngo...”
“Kalau seandainya hari ini adalah hari terakhir kita bersama, aku Cuma mau kamu tau, kamu tuh sahabat sekaligus kakak yang paling aku sayang. Aku senang bisa ketemu sama kamu. Andaikan benar ada kehidupan kedua, dan kalau kehidupan kedua itu aku bertemu lagi denganmu, aku berharap orang yang aku cintai bukan Iel tapi kamu” Ucapku memotong ucapan Rio. Rio hanya mendesah. “Sekali lagi makasih buat semuanya yo, aku masuk dulu, di sini dingin banget. Kamu nggak mau aku tambah sakit karena kedinginan kan?” tanyaku dengan menaik-turunkan alisku.
“Masuklah!” aku pun berjalan, mengeluarkan kunci dari tasku dan membuka pintu rumah. “Ify!” panggilnya membuatku menghentikan langkah dan menatapnya. “Seandainya, memang ini adalah hari terakhir kita bersama, aku ingin kamu tau, kalau aku sayang sama kamu. Bukan sebagai sahabat ataupun kakak” ucapnya membuatku tersentak. Aku terdiam, namun sedetik kemudian aku tersenyum.
“Akan ku ingat itu. Hati-hati di jalan!” aku pun langsung masuk ke rumah. Aku masuk ke kamarku, mengganti pakaianku, mengambil gitar yang ada di pojok kamarku. Ah, sudah terlalu lama, aku tak memainkan gitar kesayanganku ini.
Lihat aku di sini..kau lukai hati dan perasaan ini
                Tapi entah mengapa, aku bisa memberikan maaf padamu
                Mungkin karena cinta..
                Padamu, tulus dari dasar hatiku
                Mungkin karena, aku berharap kau dapat mengerti cintaku
Lihat aku di sini..bertahan walau kau selalu menyakiti
                Hingga air mataku tak dapat menetes habis terurai
                Mungkin karena cinta
                Padamu tulus dari dasar hatiku
                Mungkin karena, aku berharap kau dapat mengerti cintaku
Meski kau terus sakiti aku, cinta ini akan selalu memaafkan
                Dan aku percaya nanti engkau, mengerti bila cintaku takkan mati
Aku menghentikan nyanyianku. Menghapus sisa air mataku. ‘Nggak akan ada lagi Ify yang menangis seperti ini.’ batinku. Aku meletakkan gitarku kembali ke tempatnya, dan mulai memejamkan mata.
*****
“Ify sayang, kamu bangun ya. Kamu nggak boleh ninggalin mama sendiri.” Isak mamaku di dekatku. Aku pun mencoba membuka mataku, namun tak bisa. Hei, aku tidak tidur, aku akan bangun. Namun tubuhku benar2 tidak bereaksi. Aku tak bisa mengingat apa-apa lagi saat ini. Di mana aku? Kenapa mama menangis? Aku mendengar suara pintu berdecit
“Masuk saja Rio. Kebetulan ada kamu, tante mau beli sarapan dulu di kantin”
Aku merasa tanganku dipegang lembut oleh Rio.
“Hh..aku benar2 nggak berharap kalau semalam adalah pertemuan terakhir kita. ayolah fy,  kamu harus tetap hidup. Kamu nggak sedih apa ngelihat mamamu menangis dari semalam? Memangnya kamu nggak bosen ngebuat aku panik? Memangnya kamu betah di rumah sakit?” ia pun menyentuh wajahku dengan ujung jarinya seolah takut melukaiku. Ia menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di wajahku. Pintu berdecit lagi. Apakah itu mamaku yang masuk?
 “Yo, apa yang sebenarnya terjadi?” aku mendengar suaranya. Itu suara Cakka.
“Ify..kambuh tadi malam. Pengobatannya selama ini nggak berpengaruh” mendengar hal itu, membuatku tersentak. Aku tau sekarang kalau aku koma dan tak sadarkan diri di rumah sakit sejak semalam.
“A..apa yang terjadi dengan Ify?” suara Iel kali ini yang ku dengar.
“BISA-BISANYA LO NGGAK TAU APA YANG TERJADI SAMA IFY? LO EGOIS YEL, BAHKAN DI SAAT IFY SAKIT PUN IA TETAP NOLONGIN LO..” bentak Rio. Untuk pertama kalinya aku mendengar Rio marah. Selama ini Rio nggak pernah semarah ini.
“Maksudnya? Gue nggak ngerti”
“Ify sakit kanker paru-paru.” Jawab Cakka membuat Iel mundur beberapa langkah seolah kehilangan keseimbangannya. “Ia sudah melakukan segala pengobatan agar bisa sembuh, beberapa tahun ini, setiap kali ia periksa, sel-sel kanker di tubuhnya dikatakan mulai menjinak. Namun, 1 bulan yang lalu, waktu gue sama Rio nemenin dia check up, dikatakan bahwa sel-sel kankernya menyebar lagi, dan sudah nggak ada harapan apa2.” Jelas Cakka.
“Kenapa kalian nggak cerita ke gue? Kenapa dia nggak ngomong sama gue?” tanya Iel.
“Awalnya dia juga nggak mau cerita ke kita. Tapi, dia nggak sepintar itu untuk menyembunyikan rasa sakitnya. Akhirnya, ia pun menceritakan semuanya. Berkali-kali  dia berusaha untuk menceritakan ke lo yel, tapi lo selalu nggak bisa. Selalu saja ada alasan lo yang ngebuat dia ngurungin niatnya. Either lo sibuk sebagai ketua angkatan, atau lo sibuk pdkt sama via” ucap Rio kali ini.
 “Ify suka sama lo yel” ucap Rio lagi “Dia sayang bahkan cinta sama lo yel”
“Tapi..kenapa ”
“Dia dukung lo sama Via kok, karena dia ngerasa Via jauh lebih baik dan lebih...sehat daripada dirinya. Dia lebih sedih waktu lo ngelupain ulang tahunnya. Tapi kata maaf buat lo, sepertinya nggak bakal habis.”
Oh, aku tak tau apa yang harus ku lakukan saat ini. Menangiskah? Atau tersenyum? Entahlah!
“Ify, jangan pergi dong..aku nggak ada temen buat berkelahi” ujar Cakka seperti anak kecil membuatku ingin sekali meledeknya.
“fy..” desah Iel “Aku nggak tau harus kayak gimana sama kamu. Maafin aku fy. Hh..aku rasa aku nggak pantes buat terima maaf kamu. Aku terlalu jahat sama kamu, aku terlalu sering ngelukain hatimu. Maaf fy, kalau kamu bangun apa saja akan aku lakukan buat kamu. Fy, please..kamu bangun, biarkan aku memperbaiki semuanya. Aku nggak mau kamu pergi fy. ”
‘nggak perlu yel. Aku akan selalu maafin kamu’ batinku. Setelah mendengar ucapan Iel itu, aku merasa tenang. Seolah tak ada beban lagi. Aku melihat cahaya putih yang sepertinya telah menantiku dari tadi. Aku pun berjalan ke sana. Aku sempat mendengar suara mama menangis dan semua orang di situ memanggil – manggil namaku. Namun semakin lama suaranya semakin kecil dan menghilang.
‘aku sayang kalian semua’

****
THE END...

(Kalau Iel Cakka sama Rio ngomong ke Ify, ngomongnya pake ‘aku kamu’. Kalo mereka bertiga doang pake ‘gue lo’. Ngerti kan?)